Berita sidikkasus.co.id
SUMSEL – Maraknya aktivitas tambangan Galian C yang tidak memiliki izin usaha pertambangan menjamur di Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Kecamatan Jejawi Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan (Sumsel).
Hal ini, jelas akan menyebabkan pendapatan pajak negara disektor tambang lenyap secara tak berbekas.
Situasi semacam ini menjadi angin segar bagi sekelompok mafia pelaksana kegiatan proyek swasta dan pemerintah karena sedang menangani proyek pemerintah dan swasta.
Setiap anggaran proyek pemerintah ditetapkan dengan Harga Satuan, baik daerah maupun nasional.
Sebagai pedoman, dalam menetapkan Rencana Anggaran dan Belanja pemerintah, sektor pajak akan dijadikan tolak ukur untuk menentukan nilai anggaran sebuah proyek pembangunan.
Pemerintah sebagai pemilik Kuasa Anggaran telah dengan tegas memberikan syarat serta aturan sesuai ketentuan pengadaan barang dan jasa milik pemerintah.
Salah satunya, adalah wajib menggunakan bahan material berasal dari pertambangan yang harus di lengkapi dengan izin secara resmi.
Akal bulus para suplayer penyedia barang selalu mencari celah untuk berburu rente dengan cara bekerja sama dengan pelaksana kewenangan untuk memaksakan agar supaya barang material pertambangan dapat diterima bahkan dengan harga yang sangat murah dan tidak wajar.
Godaan akan keuntungan berlipat sanggat menjanjikan membuat pengawas pekerjaan ikut mencari celah untuk memasukkan bahan material yang mereka dapatkan dengan cara-cara Melawan Hukum.
Berdasarkan hasil Investigasi Kantor Berita Sidik Kasus Sumatera Selatan (Sumsel) di lapangan, banyak terdapat ‘Pertambangan Galian C Ilegal’ di Kecamatan Jejawi Kabupaten Ogan Komering Ilir OKI dan Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin.
Tambang ilegal itu tersebar di Desa Tanjung Merbo, Desa Sako, Desa Pangkalan Gelebek, dan Desa Gelebek Dalam Kecamatan Rambutan (Banyuasin), Desa Talang Cempedak, Desa Lingkis, Kecamatan Jejawi (OKI).
Dari beberapa keterangan yang dihimpun diketahui Modus Operandi ‘Pertambangan Galian C Ilegal’ di Kecamatan Jejawi (OKI) dan Kecamatan Rambutan (Banyuasin) sebagai berikut:
Penambang bekerja sama dengan pemilik tanah beserta perangkat desa dan BPD sebelum melakukan aktivitas penambangan dengan menggunakan alat berat Eksavator.
Tanah dibeli dengan harga kompensasi Rp 60 ribu/dum truck.
Penambang dalam pelaksanaannya tidak mengembalikan keadaan tanah menjadi rata.
Hasil penambangan dijual secara umum untuk proyek pemerintah dan swasta.
Dengan melakukan koordinasi diluar prosedur, penambang memberikan upeti kepada oknum perangkat desa BPD dan penegak hukum, terutama pucuk pimpinan pengambil keputusan penindakan hukum disemua tingkat jajaran.
Cara-cara seperti ini dilakukan karena para penambang ilegal menyadari bahwa apa yang mereka lakukan merupakan perbuatan melawan hukum dan dapat diberikan sanksi pidana.
Modus operandi demikian telah membuat pendapatan negara lesu karena bisnis usaha secara resmi dirampas oleh pengusaha yang tidak memiliki izin, kewajiban pajak dan jaminan reklamasi tidak diberikan membuat usaha mereka bebas melenggang dan mampu bersaing dengan harga lebih murah.
“Percuma ada pemerentah kalau bisnis ilegal tetap bisa melenggang. Tidak punya izin jelas tidak mungkin membayar pajak, kalau penegak hukum sendiri dalam hal ini satuan Polisi Pamong Praja dan Kepolisian Republik Indonesia tidak bersikap tegas, untuk menindak pertambangan illegal, Bisa bangkrut negara ini, karena mereka bisa dengan bebas menjual bahan Galian C lebih murah,” keluh beberapa orang pengusaha di Sumatera Selatan, saat di temui dikantornya.
“Contohnya pak, di desa saya ini. Disinikan banyak tambang galian c ilegal yang tidak memiliki izin tapi polisi semua tutup mata, padahal ada Babhinkamtibmas disetiap Kecamatan yang setiap hari bertugas, bukankah mereka wajib segera menindak dan atau melaporkan kepada atasannya sebagai bentuk koordinasi atas kejadian perbuatan melawan hukum,” Ujar (P) salah seorang warga di Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.
Tim Kreatif Kantor Berita Sidik Kasus Sumatera Selatan
Komentar