CIREBON, JKN. Jumat 20/7/2018, pukul 09.00-11.30 Wib, Yayasan Pradita Madani Cempaka (PRAMA) Kabupaten Cirebon melakukan kegiatan sosialisasi program rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan Napza di Kantor Kecamatan Malausma Kabupaten Majalengka.
Ruang Pertemuan Kecamatan Malausma Kabupaten Majalengka. Sebanyak 50 orang peserta yang mewakili masyarakat dan pemuda. Di hadiri Kepala Dinsos Majalengka Drs. H. Rieswan Graha, M.M.pd, Camat Malausma Drs. H.D. Wahyudin, M.M, Pembina Yayasan PRAMA Agus Widarsa, AKS. S.IP (Nara Sumber).
Pembina Yayasan PRAMA (Agus Widarsa, AKS. S.IP) sebagai nara sumber memaparkan bahwa, “Penyalahgunaan napza di Indonesia memang tak dapat dihindari, setiap tahunnya penyalahguna di Indonesia terus meningkat dari remaja hingga dewasa. Faktanya Pada tahun 2015 lalu, penyalahguna napza di Indonesia tercatat ada sebanyak 5,8 jiwa.
Banyaknya penyalahguna napza juga diikuti dengan maraknya upaya penyelundupan napza dari luar negeri. Dari fakta tersebut, masyarakat Indonesia mempunyai nilai tersendiri dalam berpandangan terhadap para penyalahguna aktif napza yang memberikan stigma negatif sehingga menjadikannya paradigma yg melekat di masyarakat itu, mereka dipandang sebagai penjahat yang harus dipenjara dan sampah masyarakat yang patut disingkirkan.
Data BNN menyebutkan dari angka 34,7 juta jiwa pengguna narkotika di Indonesia, prevalensi Jawa Barat ada di angka 2,45%. Dengan jumlah absolut pengguna narkotika di Jawa Barat 850 ribu jiwa.
Kasus penyalahgunaan narkotika masih menjadi pekerjaan rumah di Jawa Barat (Jabar). Dalam beberapa tahun terakhir perkembangannya tercatat terus meningkat. “Data dari Polda tadi 2015 sekitar 2.000 (kasus), tahun 2016 , 3.000. menurut ketua BNN Propinsi Jawa Barat.
Dari berbagai kasus penggunaan napza yang ditangani, ganja masih menjadi jenis narkotika yang banyak digunakan. Kemudahan mendapatkan dan masih banyaknya produksi ganja di Indonesia ditengarai menjadi faktor penggunaan ganja masih marak.
Kemudian penyalahgunaan berikutnya yang marak dikalangan anak muda adalah penyalahgunaan obat obatan daftar G, seperti Tramadol, Trihexyphenidyl (THD), Somadril / Carisoprosdol, yang termasuk Benzodiazepin alprazolam, lorazepam, clonazepam, clobazam, diazepam dan nitrazepam
Letak geografis Kabupaten Majalengka yang strategis sangat memungkinkan maraknya peredaran Napza. Dari data kasus narkotika 2014, Sat res narkoba Polres Majalengka berhasil mengungkap 30 kasus, 37 jumlah tersangka. Dari 40 kasus tersebut, Polres Majalengka telah menahan sejumlah barang bukti diantaranya 6,4 gram Shabu, 2,2 Kg Ganja, 30.468 butir dextro
Kasus narkotika yang ditangani pihak kepolisian pada tahun 2014, pastilah jumlahnya lebih besar di tahun 2018 ini.
Tinggi kasus penyalahgunaan narkotika yang ditangani oleh pihak kepolisian menggambarkan fenomena “gunung es”, hanya terlihat dipuncaknya saja, namun di bawah pasti lebih banyak lagi. Apalagi dengan mulai marak ditemukan di pedesaan penyalahgunaan lem aibon, obat batuk komix dan lain nya dikalangan anak sekolah dan anak muda.
Fenomena penyalahgunaan ini sangatlah mengkhawatirkan, ketika pada beberapa tahun ke depan nanti akan banyak ditemukan anak muda yang mengalami ketergantungan obat obatan dan lain nya. Dan banyak ditemukan anak muda yang mengalami sakit secara fisik dan kejiwaan karena menyalahgunakan narkotika dan obat-obatan.
Permasalahan ini apabila tidak segera ditangani dari mulai pencegahan sampai kepada rehabilitasi secara “Total Football” melibatkan segenap lini baik pemerintah, kepolisian dan masyarakat, maka akan timbul bencana besar dan kehilangan generasi muda yang produktif dan berdaya.
Pengalaman Yayasan Pradita Madani Cempaka (PRAMA) sebuah lembaga sosial yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai lembaga Institusi Wajib Lapor (IPWL) di wilayah Jawa Barat berdasarkan SK Mensos No.16/HUK/2016, SK Mensos No.214/HUK/2017 dan SK Mensos No.43/HUK/2018, dalam melakukan upaya pencegahan dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza di tahun 2016-2017 telah merehabilitasi sekitar 420 pecandu narkotika yang berasal dari kota, Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Kuningan.
Tingginya kasus penyalahgunaan narkotika di wilayah tersebut diatas termasuk wilayah sumedang ini tidak diikuti oleh meningkatnya pengetahuan akan narkotika dari masyarakat. Dimana masih tingginya stigma terhadap pecandu narkotika dimana pecandu adalah criminal/penjahat, tidak berguna, sampah masyarakat dan lainnya.
Hal tersebut inilah yang membuat pecandu semakin sulit untuk mendapatkan bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan. Hal tersebut membuat para pecandu napza menjadi terpojok sehingga walaupun mereka sudah berhenti namun tetap diperlakukan sama oleh masyarakat.
Sampai saat ini masih banyak masyarakat memiliki pendapat dan pandangan bahwa penyalahguna napza adalah “penjahat” karena sebelumnya pecandu yang sebenarnya korban selalu dianggap salah dimata hukum dan dijebloskan ke penjara.
Karena itu hingga sekarang masih banyak masyarakat yang salah satu anggota keluarganya enggan untuk mengungkap diri, bahkan cenderung ditutupi bagaimanapun caranya. Akibat dari masih banyaknya stigma.
Permasalahan yang dihadapi seorang pecandu napza bukan hanya sebatas program pemulihan direhabilitasi, karena ketika seorang pecandu keluar dari rehabilitasi, maka ia harus menghadapi respon dari lingkungannya dan berharap akan dapat dukungan bukan penolakan.
Namun tidak sedikit pecandu napza yan telah pulih dan kembli ke masyarakat merasa rendah diri dan tidak nyaman karena berbagai stigma negatif yang ditujukan kepada dirinya, bahkan dari keluarganya sendiri.
Stigma negatif masyarakat inilah yang menimbulkan dampak sosial bagi para penyalahguna napza seperti gangguan mental, anti-sosial dan asusila. Seorang penyalahguna napza yang hidup berdampingan dengan masyarakat disekitarnya pada dasarnya memiliki sifat anti-sosial, mereka cenderung tidak berinteraksi dengan lingkungannya dan lebih memilih menyendiri, mereka hanya menjalin hubungan antara pengedar dan penyalahguna lainnya sehingga tercipta pasar gelap yang sulit diputus mata rantai peredarannya.
Tantangan berikutnya untuk mencari solusi dengan mengubah stigma negatif di masyarakat. Memperlakukan seorang pecandu bukan lagi kriminal yang harus dipenjara tetapi mereka sebagai korban dan orang sakit yang wajib ditolong untuk dipulihkan melalui rehabilitasi.
Bukan semudah membalikkan telapak tangan, butuh keseriusan, kepedulian, kerelaan dan komitmen kuat seluruh komponen masyarakat.
Peran serta masyarakat pun untuk berperilaku hidup sehat tanpa napza, hal ini dapat berpengaruh terhadap masyarakat lainnya secara perlahan sehingga kebiasaan di masyarakat yang dapat menghindarkan dari penyalahgunaan obat terlarang.
Kemudian perlu adanya perlakuan yang bijak terhadap proses hukum yang dimana keputusan hakim dalam memvonis tersangka penyalahgunaan napza untuk menjalani proses pengobatan dan perawatan dipanti rehabilitasi medis ataupun sosial.
Menciptakan kondisi positif dilingkungan keluarga dan masyarakat pun menjadi faktor yang penting dimana penerimaan sehingga seorang pecandu akan merasa di anggap di lingkungannya dan akan membantu proses pemulihannya.
Selain mengubah pola pikir masyarakat, dukungan instansi pemerintahan, swasta untuk mendukung program rehabilitasi sosial napza, memberikan dukungan pendidikan ketrampilan bagi pecandu yang telah menjalani rehabilitasi, dukungan kesempatan kerja dan lainnya diluar sarana dan prasarana dan infrastruktur rehabilitasi baik medis, sosial maupun religi.
Dengan keyakinan dan sikap optimis bangsa ini untuk membantu rehabilitasi pecandu maka impian mewujudkan negeri yang bebas dari napza semakin nyata.
Upaya pemberantasan peredaran gelap dan pemberantasan penyalahgunaan napza tidak akan bisa berjalan baik dan “total football” tanpa adanya dukungan dari pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, akademik, organisasi sosial, swasta dan masyarakat.
Peran dari masyarakat terutama tokoh masyarakat, tokoh agama, para pemuda dan peran kelompok ibu-ibu sangatlah penting dalam melakukan gerakan pencegahan penyalahgunaan napza dan upaya rehabilitasi sosial berbasiskan masyarakat bagi korban penyalahgunaan napza.
Dimana masyarakat yang lebih tahu, masyarakat yang dapat bergerak cepat dibandingkan pemerintah dalam melakukan pencegahan dan memutus mata rantai peredaran gelap serta penyalahgunaan narkotika
Namun upaya dari masyarakat ini haruslah sistematis dan mendapatkan dukungan serta asistensi dari lembaga-lembaga sosial seperti LKS, sehingga program tersebut bisa berjalan baik.
Diharapkan dari diadakannya kegiatan sosialisasi ini bisa membuka jalan bagi adanya suatu kegiatan dari mulai pencegahan hingga rehabilitasi sosial napza berbasiskan masyarakat,” pungkasnya. (Omika/Ida F/JKN)
Komentar