Berita sidikkasus.co.id
Hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selalu dirayakan pada 9 Februari.
Hal ini merujuk pada sebuah pertemuan wartawan pada tanggal 9 Februari 1946 di Gedung Sono Suko yang kini menjadi Gedung Monumen Pers di Solo. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa hari lahirnya PWI sebagai organisasi yang menaungi seluruh wartawan di Indonesia. Tak ada yang menyangsikan itu. Akan tetapi, lima tahun sebelumnya atau empat tahun sebelum Indonesia merdeka, jurnalis Bandunglah yang pertama kali mendirikan PWI pada 1 Maret 1941.
Rahim Asyik, mahasiswa Program Magister Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran memiliki sebuah temuan didalam tesis berjudul ”Konflik dan Harmoni : Sipatahoenan di Bawah Tiga Pemimpin Redaksi, 1924-1942” yang dipertahankan pada Selasa, 23 Januari 2018.
Ketua tim pembimbing Rahim, Nina Herlina, mengaku senang. Menurut dia, tesis tersebut patut untuk mendapat pujian.
”Dalam penelitian tesis, sebenarnya tidak diminta untuk menemukan sesuatu yang baru. Tapi, Pak Rahim, dengan segala kecermatannya, berhasil menemukan data baru tentang tanggal lahir PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Saya, selaku pembimbing, bangga karena bukti-bukti soal itu sangat kuat,” ungkapnya.
Menurut Rahim, PWI sebetulnya bukan satu-satunya organisasi wartawan pribumi pertama di Indonesia. Orang pribumi pertama yang mendirikan organisasi wartawan adalah Mas Marco Kartodikromo pada 1914 di Solo. Nama organisasinya Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Sayang, IJB hanya disokong oleh teman dekat Marco, aktivis, wartawan, dan beberapa bangsawan di Surakarta. Memang ada nama Tjipto Mangoenkoesoemo, mantan pemimpin Indische Partij yang baru pulang dari pengasingannya di Belanda, dan bergabung ke dalam IJB. Walakin, perannya tak banyak. Lagi pun, IJB bisa dikatakan hanya sebagai proyek personal Marco untuk berkonfrontasi dengan Pemerintah Hindia Belanda, bukan alat organisasi.
Sebelum IJB, kata dia, ada sebuah Perhimpunan Pengarang Soerat Kabar Melajoe di Hindia Nederland (Maleisch Journalisten Bond) yang didirikan di Batavia pada 1906. Pada 1919, malah ada dua asosiasi wartawan, yakni Inlandsche-Chineesche Journalisten Bond dan Indische Journalisten Bond yang dipimpin Tjipto Mangoenkoesoemo. Menilik kepanjangannya, IJB Tjipto ini jelas beda dengan IJB Marco. Selain itu, ada Journalistenbond Asia (Ikatan Wartawan Asia) yang didirikan pada 6 Oktober 1925.
Pada bulan Agustus 1928, didirikan Perserikatan Journalisten Asia di Yogyakarta yang membuka keanggotaannya bagi jurnalis pribumi ataupun Tionghoa. Perserikatan ini bertujuan membentuk fron kulit cokelat untuk melawan pers kulit putih. Ketua perserikatan itu adalah Soejoedi, anggota Partai Nasional Indonesia. Pada tahun 1931, Perkoempoelan Kaoem Journalist (PKJ) didirikan di Semarang. Sempat dikabarkan oleh Siang Po bahwa jurnalis Tionghoa berencana mendirikan Journalistenbond Azia. Rencana itu tampaknya tak pernah terealisasi. Cikal bakal PWI adalah Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi) yang didirikan pada Sabtu, 23 Desember 1933 di Solo. Setelah konferensi ke-7 pada 23 Februari 1941 di Yogyakarta, Perdi vakum. Pada masa pendudukan Jepang, Perdi juga tidak berfungsi, tetapi juga tidak ada pernyataan pembubaran diri secara resmi. Menurut Tribuana Said, para tokoh dan anggota pengurus Perdi di Jakarta, ialah Sjamsuddin Sutan Makmur (Ketua) Parada Harahap (Wakil Ketua), Sumanang (Sekretaris), Soendoro (Bendahara), Adam Malik (Komisaris), dan M Tabrani tidak segera bertindak untuk memulihkan Perdi lantaran kesibukan.
Para wartawan anggota Perdi di Bandung menganggap, salah satu keputusan Konferensi ke-7 Perdi itu adalah pembubaran Perdi. Pada 28 Februari 1941, sejumlah Perdianen (Orang-Orang Perdi) menggelar pertemuan di Perguruan Taman Siswa di Poengkoerweg (Kini Jalan Pungkur). Poin penting dari pertemuan itu adalah, pada tanggal 1 Maret, mereka memutuskan untuk keluar dari Perdi lalu mendirikan PWI.
Padahal, Konferensi ke-7 Perdi itu maksudnya bukan dibubarkan, melainkan reorganisasi. Soalnya, rencana konferensi ke-8 juga sudah disebut-sebut akan diberlangsungkan di Surabaya dengan waktu pelaksanaan yang akan ditetapkan kemudian. Dengan reorganisasi itu, tak ada lagi istilah pengurus besar dan pengurus cabang. Konsekuensinya, pengurus cabang ditiadakan. “Pangoeroes tempatna di Djakarta, ari di tempat anoe aja elid sakoerang-koerangna limaan, baris diajaan consul” (Pengurus tempatnya di Jakarta, sedangkan di tempat-tempat yang terdapat sekurang-kurangnya lima anggota, akan diadakan konsul) (“Poetoesan-poetoesan conferentie Perdi” dalam Sipatahoenan, 26 Februari 1941: 1).
Pertemuan di Jalan Pungkur, 28 Februari 1941 itu, dihadiri oleh 18 Perdianen. Sebermula, agenda pertemuan adalah mendengarkan laporan dari Bakrie Soeraatmadja dan Mohamad Koerdie. Dari Bandung, Koerdi yang menghadiri Konferensi Perdi di Kaliurang, Yogyakarta, itu bersama dengan Moh Sofwanhadi (Solo) dan Soemarto (Surabaya) (”Persatoean Wartawan Indonesia” dalam Sipatahoenan, 3 Maret 1941:2). Dari sana, kemudian diambil sikap. Pertemuan yang berakhir pada pukul 23:00 tersebut melahirkan tiga keputusan yang ditandatangani oleh semua peserta.
Pertama, dari tanggal 1 Maret (bulan ini) keluar dari keanggotaan Perdi. Salinan notulen pertemuan ini akan dikirimkan kepada Pengurus Perdi di Betawi. Kedua, dari tanggal 1 Maret (bulan ini) eks Perdianen Bandung mendirikan organisasi baru untuk kaum wartawan umumnya, untuk wartawan yang ada di Bandung khususnya. Untuk sementara, namanya Persatuan Wartawan Indonesia. Ketiga, pengurus sementara yang mengemban tugas menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga adalah Bratanata (Nicork Expres), Tjokromanggolo (Pemandangan), Bakrie Soeraatmadja (Sinar Pasoendan), Santikabrata (Sipatahoenan), dan Wangsawidjaja (Priangan).
Berita itulah yang menjelaskan bahwa PWI pertama kali didirikan di Bandung. Lalu, mengapa pertemuan di Solo pada 9 Februari 1946 yang dijadikan patokan sebagai hari lahir PWI? Alasannya, skala peserta yang berbeda. Pembentukan PWI di Bandung hanya dihadiri oleh 18 jurnalis praktis yang bermarkas di Bandung. Sementara, pertemuan di Solo dihadiri oleh wartawan di serata Jawa, bahkan ada juga yang dari Medan dan Ujung Pandang (kini Makassar). Dengan demikian, PWI yang dirancang di Solo dianggap lebih representatif dari segi kepesertaan sekaligus lebih menasional daripada PWI yang didirikan di Bandung.
Namun, dengan mempertimbangkan bahwa notulen pertemuan di Bandung dikirimkan ke Pengurus Besar Perdi di Jakarta, yang juga inisiator PWI, besar kemungkinan bahwa nama PWI buatan jurnalis Bandung menginspirasi untuk kemudian diadopsi jadi nama organisasi kewartawanan resmi pada 9 Februari 1946. Bayangkan kalau jurnalis Bandung yang menyarankan penggunaan nama PWI, bisa jadi, peserta dari daerah lain menolaknya lantaran sentimen kedaerahan.
Sayangnya, menurut Rahim, bahkan oleh jurnalis di Bandung sendiri, pembentukan PWI 1 Maret 1941 tak dijadikan sebagai acuan penting. Saat mendirikan PWI Kring Bandung pada 5 Februari 1950, yang dirujuk justru pembentukan PWI di Solo itu.
(Adeni Andriadi)
Komentar