Salim Said dan Dua Raja Jawa

Oleh: Syaefudin Simon

Berita sidikkasus.co.id

JAKARTA – Bicaranya keras dan menggebu. Tapi enak, rinci dan banyak data. Itulah Prof. Dr. Salim Said, Guru Besar Universitas Pertahanan Republik Indonesia yang Sabtu (18/5/024) lalu wafat di Jakarta. Indonesia kehilangan seorang analis politik militer yang handal.

Dari sekian kali mengikuti kuliah umum dan seminar di mana Salim Said menjadi pembicara utamanya, yang paling menarik adalah analisisnya tentang pemerintahan orde baru yang menurutnya seperti dipimpin Raja Jawa. Para pengamat politik, terutama dari luar negeri, kata Salim Said, selalu keliru memprediksi arah politik Indonesia karena basis teorinya menganggap Indonesia sebagai negara demokrasi modern. Padahal sejatinya di bawah kepemimpin Soeharto, Indonesia adalah kerajaan. Tepatnya Kerajaan Jawa.

Ibu Tien yakin, Soeharto bukan sekadar presiden. Tapi raja. Dan “wahyu keprabon” itu turun melalui ibu Tien yang masih keturunan raja-raja Jawa. Soeharto ketiban wahyu keprabon tersebut karena merupakan “belahan jiwa” Raden Ayu Siti Hartinah, yang silsilahnya tersambung dengan kraton Majapahit dan Mangkunegaran. Itulah sebabnya, waktu Ibu Tien meninggal tahun 1996, Soeharto sangat sedih. Meninggalnya Ibu Tien sama dengan perginya seluruh wahyu keprabon yang berada pada Soeharto.

Benar, hanya dua tahun setelah Ibu Tien wafat, 1998 Soeharto jatuh. Hidup Soeharto tanpa wahyu keprabon benar-benar terpuruk. Tidak hanya kehormatan rajanya hilang, tapi juga menjadi obyek caci-maki rakyatnya.

Menurut Salim Said, waktu Soeharto jatuh, Presiden RI 32 tahun itu menyatakan bahwa wahyu keprabon memang sudah saatnya pergi. Perginya Ibu Tien, bagi Soeharto, adalah semacam isyarat bahwa wahyu keprabon dalam dirinya juga akan pergi.

Setelah Soeharto lengser, raja Jawa mana yang akan memimpin Indonesia? BJ Habibie, Megawati, Gus Dur, dan SBY — menurut primbon Jawa — adalah pemimpin yang muncul di masa tunggu kedatangan Raja Jawa yang sebenarnya.

Orang Jawa baru “ngeh” ketika ada anak orang miskin dari keluarga marginal yang tinggal di pinggir kali di Solo, tetiba muncul jadi pemimpin nasional. Itulah Joko Widodo. Menurut kolumnis Sunardi Rinakit, dalam artikelnya di Kompas, ciri-ciri fisik Jokowi — wajah ndeso, merakyat, ada andeng-andeng di wajahnya — adalah petunjuk bahwa dialah “Satria Piningit” yang sedang ditunggu kedatangannya. Satrio Piningit dalam primbon Jawa adalah raja yang membawa Jawa Dwipa atau Nusantara menjadi negeri yang adil makmur.

Tapi apa kenyataannya? Pak Harto dan Jokowi yang semula diprediksi menjadi raja yang akan membawa kemakmuran dan keadilan terhadap negerinya, akhirnya tidak terbukti. Soeharto jatuh karena merasa menjadi raja sehingga memberangus demokrasi. Jokowi juga di akhir masa kepresidenannya merasa menjadi raja sehingga memberangus demokrasi dan membangun kekuasaan dinasti.

Dalam pikiran “Raja Jokowi” — Gibran Rakabuming Raka adalah putra mahkota yang harus mewarisi kekuasaannya. Risiko apa pun harus dihadapi karena eksistensi kerajaan tidak boleh hilang.

Soeharto dan Jokowi gagal dalam pemerintahannya. Keduanya lupa bahwa presiden bukanlah raja. Presiden kekuasaannya dibatasi , tidak seperti raja yang punya kekuasaan mutlak.

Kedua pemimpin yang menganggap dirinya raja tersebut, terjebak pada halusinasi bahwa dirinya punya kekuasaan mutlak. Tak ada pemisahan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sebagai eksekutif puncak, “Raja” Jokowi merasa berhak cawe-cawe pada lembaga apa pun yang ada di negeri miliknya.

Karena itulah di posisi mana pun, cawe-cawe adalah keniscayan. Dampaknya demokrasi rusak, ekonomi terpuruk, dan politik hancur. Keduanya lupa bahwa eksekutif itu tugasnya untuk melayani rakyat. Bukan melayani konglomerat dan kerabat.

Selamat Jalan Salim Said. Semoga Tuhan memberimu tempat terbaik di surga.

_Penulis adalah anggota PPWI, kolumnis di berbagai media massa_

Komentar