Catatan : Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn
Kelangsungan berbangsa dan bernegara yang benar wajib menjalankan amanah konstitusi sesuai aturan hukum sesuai hirarkinya.
Di dalam konstitusi telah diatur landasan dan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan dan bernegara yang telah disepakati. Oleh karena itu, konstitusi harus menjadi rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, dibutuhkan kesadaran dan kesungguhan dalam menghidupkan jiwa konstitusi sebagai moralitas bangsa, antara lain nilai kejujuran, kesungguhan, kebersamaan, dan kemanusiaan. Agar konstitusi bisa menjadi landasan kebangkitan ekonomi pasca pandemi, maka regulasi yang dibentuk harus mengedepankan keadilan dan kemanusian, serta ditopang dengan fungsi penjaga ketertiban
Namun yang terjadi saat ini, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar konstitusi. Praktek kekuasaan yang semena-mena dan brutal dalam pembridalan konstitusi yang dilakukan oleh seorang pemimpin identik dengan perilaku premanisme kekuasaan yang seperti terjadi saat ini jelang pemilu 2024.
Slogan pemilu damai dan berintegritas serta jujur terus berkumandang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Sangatlah na’if dapat mengawasi potensi kecurangan pemilu, jelas dan terang didepan mata kita semua rakyat Indonesia sudah terjadi kecurangan secara terbuka, pembridalan konstitusi dengan terbitnya putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang cacat etika dan moral hukum tetap dapat digunakan oleh KPU untuk pendaftaran capres dan cawapres.
Pertimbangan dan amar putusan yang dibuat MK makin kesasar atau tersesat. MK telah menggadaikan kredibilitas dan marwahnya sebagai the guardian of the constitution dengan bersikap inkonsisten karena para hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan pemohon secara drastis berubah pandangan.
MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan pengujian bukan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy. Tetapi, dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang secara substansi mempersoalkan hal yang sama, malah mengabulkan permohonan untuk sebagian dan memberi tambahan norma baru pada syarat capres-cawapres,” ujar Fajri Nursyamsi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/10/2023).
Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat indikasi desakan, ancaman, atau intervensi yang potensial mengganggu independensi hakim konstitusi tersebut. Lebih daripada itu, MK telah melakukan praktik cherry-picking jurisprudence untuk menafsirkan open legal policy, yang berbahaya bagi kelembagaan dan legitimasi putusan MK.
Yang terus menerus jadi pertanyaan kita mungkinkah dapat dikatakan pemilu jujur dan berintegritas sementara kecurangan telah dimulai sejak awal pendaftaran capres dan cawapres.
Putusan MK itu potensial berimplikasi pada pemilu yang tidak adil di Pemilu Serentak 2024 mendatang karena menghasilkan kontestasi yang tidak setara dan diputus tiga hari sebelum masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Tidak hanya itu, putusan MK tersebut justru akan membawa MK masuk ke dalam urusan pembentukan kebijakan yang seharusnya menjadi ranah pembentuk undang-undang.
Apakah kita sebagai bangsa yang bersatu berdaulat dalam naungan konstitusi UUD 1945 akan percaya begitu saja.
Kemana para pejuang reformasi, apakan dengan keadaan saat ini kita terus diam terbelenggu dengan suatu kezoliman konstitusional yang seolah-olah dijadikan satu pembenaran.
*) Praktisi Hukum
Komentar