Berita,sidakkasus.co.id
PRESIDEN Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo marah besar kepada semua pembantunya. Ia kesal karena melihat penanganan pandemi covid-19 di Indonesia dengan hasil yang maksimal.
Kemarahan orang nomor satu di Indonesia itu tumpah diruang Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni dan videonya diunggah di Youtube, Minggu (28/6/2020).
Kepada para pembantunya, ia mengungkapkan berbagai fakta bahwa Perintahnya terkait soal penanganan wabah virus korona tidak dilaksanakan dengan benar.
Presiden membeberkan fakta berbagai program jalan di tempat, padahal realisasi program-program itu bersifat mendesak karena dibutuhkan oleh rakyat.
Bidang kesehatan, contohnya, dalam tiga bulan terakhir pemerintah telah mempersiapkan dana Rp 75 triliun, anehnya baru disalurkan 1,53%. Begitupun dengan upaya untuk menurunkan kurva kasus positif korona yang masih jauh harapan.
Mei lalu, Presiden sudah meminta hal itu, tetapi faktanya penderita covid-19 justru makin bertambah masif dari hari ke hari. Terungkap, kasus positif melonjak berdasarkan hasil tes dilakukan secara massal, seiring melonjaknya angka penderita korona, negara dipaksa harus kembali mengelontorkan anggaran dalam jumlah besar.
Dibidang ekonomi, Kepala Negara sama sekali tidak melihat perubahan secara signifikan. Jokowi mengatakan secara gamblang bahwa ada kementerian yang melakukan penghambatan terhadap percepatan pemberian stimulus.
Saking dongkolnya, Presiden sampai melemparkan kalimat ancaman untuk mencopot menteri atau membubarkan lembaga karena dinilai tidak mampu memberikan kerja nyata.
“Tindakan-tindakan extraordinary keras akan saya lakukan. Bisa saja membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Sudah kepikiran ke mana-mana saya,” tegasnya. Presiden wajar kecewa, kesal, bahkan marah. Dalam situasi superkrisis akibat ekspansi korona hari ini, mengingat peran negara sangat dibutuhkan.
Tanpa bantuan pemerintah secara cepat dan tepat, rakyat yang sudah sengsara akan semakin melarat. Tanpa peran nyata pemerintah, para pelaku ekonomi yang sudah sekarat benar-benar akan sekarat. Tanpa campur tangan negara secara paripurna, jelas kita akan kalah melawan virus korona.
Pemerintah memang sudah menetapkan beragam kebijakan untuk mengatasi segala persoalan akibat pandemi korona. Namun, buat apa ada kebijakan-kebijakan yang bagus jika eksekusinya buruk? Buat apa pula dana ratusan triliun rupiah disiapkan jika penyalurannya lamban?
Data-data diungkapkan Presiden membuktikan itu. Data dari Menteri keuangan Sri Mulyani menguatkan buruknya pengelolaan anggaran untuk mengatasi pandemi. Sebut saja, untuk perlindungan sosial, total dana Rp 203,9 triliun, baru terealisasi 34,06%. Realiasi insentif untuk UMKM senilai Rp 123,46 triliun baru terealisasi 22,75%, bahkan Rp 53,57 triliun pembiayaan korporasi sama sekali belum terealisasi.
Padahal, selain krisis kesehatan, kita juga menghadapi krisis ekonomi. Stimulus yang diberikan pemerintah seharusnya bisa membuat ekonomi kembali menggeliat normal, dengan catatan harus disalurkan dengan cepat dan tepat sasaran.
Itu alasannya mengapa negara kita butuh pejabat kelas wahid dalam mengatasi krisis, bukan pejabat kelas teri yang hanya bisa bekerja dalam situasi biasa. Saat ini, sangat mungkin dalam beberapa waktu mendatang, kita akan dihadapkan pada seabrek persoalan luar biasa berat, sehingga Presiden harus dibantu orang-orang cermat dan hebat.
Kita harus memahami kemarahan sang Presiden kepada kabinetnya karena tak mampu bekerja ekstra untuk mengurangi penderitaan rakyat akibat korona. Rakyat pun sebenarnya juga marah dengan ketidakmampuan unsur pemerintah dalam membantu mereka. Kita memaklumi ultimatum yang dikeluarkan oleh Presiden untuk merevisi kabinet dan membubarkan lembaga karena tidak bisa memberikan kontribusi nyata.
Jangan sampai kemarahan dan ultimatum itu dianggap hanya sebagai gertakan sambal. Kalau memang perlu, secepatnya ganti para pembantu yang tidak mampu bekerja karena negara tidak boleh terus-terusan membuang waktu.
(Adeni Andriadi)
Komentar