Berita Sidikkasus.co.id
LUMAJANG – Masyarakat dusun Karanganyar, Desa Burno, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur (Jatim) Tolak Tukar Guling Lahan Dengan Perhutani.
Pasalnya, permasalahan tersebut berawal dari sebuah kesepakatan yang sebelumnya sudah dirapatkan dan dibentuknya kepanitiaan terkait tukar menukar lahan yang berada di kawasan perhutani Senduro.
Namun rupanya ada ke salah pahaman terkait hal tersebut. Menurut salah salah satu tokoh masyarakat desa Burno, Lulik saat ditemui sidikkasus.co.id, Selasa (28/7/2020) menyampaikan, bahwa permasalahan tersebut memang sudah diadakan sosialisasi.
“Kami diundang, katanya untuk sosialisasi. Katanya sosialisasi tukar guling. Saya datang,”kata Lulik. Lanjut ia, di rumah pak RT 1, di rumah pak Cipto. Tetapi sebelumnya sudah ada pertemuan – pertemuan yang kami tidak tahu, karena kami tidak diundang. Akhirnya kami dipertemuan kemarin itu, ada program, katanya program pemerintah tukar guling. Gak tahulah, kami dengarkan saja. Lulik menganggap, karena itu sosialisasi.
“Mereka, ketua nya itu langsung mengatakan, bahwa tukar guling senilai Rp 35.000 per meter. yang lima ribu untuk administrasi. Saya juga tidak tahu, siapa yang menentukan harga Rp 35.000,” jelasnya.
Ia memaparkan, kalau dirinya pada waktu sosialisasi itu bukan langsung menolak. “Saya pribadi pada waktu itu bukan langsung Menolak seperti itu, bukan…, Karena mereka mengatakan, pengajuan ini akan dilanjutkan kalau semua masyarakat setuju. Kalau masyarakat tidak setuju, ya tidak dilanjutkan katanya,”papar lulik.
Intinya, kata Lulik, saya bukanya tidak setuju. Harga segitu apa mampu. Saya contohkan saya. Karena saya, maaf ya, karena saya ibu tunggal. Semisal keluarga saya, seperti paman saya mempunyai lahan 1 h, berarti itu harus membayar Rp 350.000.000. jelas kami tidak akan berpikir panjang, karena jelas tidak mampu. Apa!? untuk Nebus.
Lulik berpikir, ini kan tanah dari nenek, kok suruh beli. Ini ceritanya gimana..?.
“Ini dari orang tua dulu, yang buat. Mereka (orang tua) berkata, tempati ini, jangan dijual,”kata Lulik.
Lulik sempat berkata saat sosialisasi tersebut, bahwa menurut Lulik harga Rp 35.000 per meter sangat mahal. Namun pihak panitia saat itu berkata, bahwa harganya memang segitu.
“Mereka berkata, oh! Tidak bisa, harganya sudah segitu,” kata Lulik, menirukan pihak panitia, saat sosialisasi.
Saat itu Lulik berkata, kalau peraturan ini belum baku…, Berarti kami Selaku masyarakat berhak mengajukan keberatan. Saya pikir mereka itu (pihak panitia) mau nego nego masalah harga, tapi ternyata tidak, main langsung ukur – ukur sebelum harga ditentukan.
“Kami belum mendengar masalah berapa harga yang disepakati, kok sudah ngukur,”ucap Lulik.
“Kami kan juga warga Indonesia, kami sebagian besar adalah masyarakat yang paling kecil. Kami mintak kebijakan pemerintah. Bagaimana solusinya terkait hal hal seperti ini. Kalau masyarakat seperti ini, berarti kan belum merdeka. Kalau bisa tidak usah ada acara tukar guling. Kalau bisa, pelepasan atau bagaimana kebijakan pemerintah untuk diajukan sertifikat,” harap tokoh masyarakat Burno, Lulik.
Pantauan sidikkasus.co.id, di lapangan Selasa (28/7), bahwa dilahan warga sudah ada patok. Menurut Lulik, yang menancapkan patok tersebut adalah pihak panitia.
Sementara itu, Asisten Perhutani (Asper) KBKPH Senduro, Lesmana Jaya Putra Emu , saat dikonfirmasi sidikkasus.co.id, Selasa (28/7) membantah terkait adanya harga yang telah ditetapkan tersebut.
Menurut Lesmana, Polemik yang terjadi di Masyarakat, khususnya di dusun Karanganyar, Desa Burno itu sudah sekitar 2 – 3 minggu yang lalu.
Lesmana mengatakan, kalau hal itu memang sudah ada klarifikasi dari pihak masyarakat yang memang terinisiasi untuk melakukan tukar-menukar kawasan hutan. Wadahnya teman teman masyarakat disana, melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) wono lestari yang selalu berinteraksi bersama pihak Desa Burno. Memang terkait dengan Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH), selain apa yang di klasifikasi oleh ketua LMDH. Dalam hal ini pak Edi, yang telah dirilis oleh beberapa media sebelumnya. Memang atas inisiasi dari masyarakat.
“Kami dari pihak perhutani tidak mewajibkan kepada mereka untuk melakukan tukar menukar kawasan hutan,” tegas Lesmana.
Lebih jauh Lesmana menjelaskan, kalau kawasan hutan yang di maksud adalah lokasi Kulin KK dengan predikat platinum (bentuk implementasi perhutanan sosial yang mengadop permen LHK no 83 tahun 2016 ttg perhutanan sosial) dan Lokasi pemukiman adalah Magersaren yang di tempati masyarakat, sehingga opini terhadap penggusuran tidak benar dan tidak mungkin di lakukan, karena sudah di klasifikasi dalam pengelolaan perhutani yaitu Kawasan Penggunaan Lain berupa kelas hutan LDTI (Lapangan Dengan Tujuan Istimewa).
Lesmana menerangkan, bahwa beberapa kelompak masyarakat melalui LMDH ingin berinisiatif untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai tanah hak, sehingga mereka melalui LMDH ingin mengajukan tukar menukar kawasan hutan, mengadopsi Perpres 88 tahun 2017 dan Peraturan menteri LHK nomor 65 tahun 2019 tentang tata cara penyelesaian areal. pemukiman dalam. kawasan hutan.
Lesmana menyatakan, Terkait PP 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Memang dalam pasal 24 berbunyi seperti itu, tapi bukan pada kawasan hutan atau yang di maksud pada tanah – tanah tak bertuan. Dalam hal ini, lokasi tersebut adalah kawasan hutan. penetapan lokasi tersebut di dalam kawasan hutan, sudah sejak dulu melalui proses verbal maupun berita acara tata batas, yang dokumennya lengkap di departemen perencanaan SDH di Malang. Serta penguatannya ada di UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal 88 (ketentuan peralihan).
“kawasan hutan yang telah di tunjuk dan atau di tetapkan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang undang ini di nyatakan tetap berlaku berdasarkan Undang Undang ini,”jelas Lesmana.
Lesmana mengemukakan, Dalam rangka tukar menukar kawasan hutan, pihak desa burno beserta LMDH wono lestari membentuk panitia tukar guling dari internal masyarakat tersebut (tidak ada unsur perhutani).
Lesmana menginformasikan, bahwa telah di rencanakan sosialisasi mekanisme tukar menukar kawasan hutan yang awalnya akan berlangsung pada bulan maret. Namun karena covid19, akhirnya diundur, dan di rencanakan pada minggu pertama bulan agustus. “Proses ini hanya sosialisasi. Karena sebagai informasi, bahwa proses TMKH memerlukan energi serta kesungguh sungguhan masyarakat”, ujarnya.
Himbauan kami sebagai petugas lapangan, Kepada masyarakat dusun Karanganyar, Desa Burno atau yang masuk di daerah RPH Senduro, PKPH Senduro, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Probolinggo, bawah kalau memang punya inisiasi untuk melakukan tukar menukar, ayo teman teman silakan satukan pendapat dari masyrakat sendiri. Jadi tidak boleh ada yang perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat banyak, tapi masyarakat Monggo lewat panitia, atau lewat desa dan LMDH dimusyawarahkan dulu. Kamipun siap melakukan pendampingan – pendampingan kepada masyarakat. Karena kami tidak ingin masyarakat dipengaruhi. Terkadang ada yang mempengaruhi bahwa ada sertifikat gratis dan sebagainya. Iya mungkin, pada lokasi yang tidak bertuan. Namun lokasi yang masyarakat tinggal. Menurut informasi dari ketua LMDH yang ada di sana, bahwa masyarakat mengakui kalau tempat yang mereka tinggal adalah kawasan hutan. Sehingga aturan yang ada saat ini, itu.
“Kami sebagai petugas lapangan, tidak ingin bergejolak dengan masyarakat. Seandainya ada aturan tentang, kalau itu boleh gratis. jangan orang lain yang duluan masuk, kami yang duluan masuk. Namun hari ini tidak ada. Harapan kami, semoga masyarakat tetap menjaga kondusifitas. Kami tidak akan melakukan penggusuran dan lain lain,” tegas Lesmana Jaya Putra Emu.
Terpisah, pihak pemenrintah desa Burno, dikonfirmasi, terkait polemik yang terjadi di desanya, kepala desa, melalui sekertaris desa (Sekdes), Heri Nurhandoyo mengungkapkan, bahwa menurut Sepengatahuan nya. Selaku pemerintahan desa, bahasa yang sebenarnya, adalah bukan tukar guling. Namun, hal itu lebih pasnya adalah Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH).
“kami selaku yang ada di pemerintahan desa memang bahasa yang sebenarnya adalah Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH), yang mana memang dusun Karanganyar itu adalah kawasan Magarsarn. Dan TMKH itupun berangkatnya bukan semata mata dari perhutani, ini sepengatahuan saya,” ungkapnya.
“Ada usulan dari bawah”, jelasnya.
Lanjut ia, dalam hal ini, LMDH membuat usulan, kemudian sudah dilakukan sosialisasi terkait TMKH ini.
Masih kata Heri, selain itu, juga sudah pembentukan panitia. Setelah itu, sosialisasi pun dilakukan di tingkat RT, yang melibatkan beberapa tokoh masyarakat. Dari hasil sosialisasi tersebut, banyak warga yang menyetujui dengan adanya TMKH ini. Tapi, terkait dengan TMKH sendiri prosesnya kan masih panjang, harus ada beberapa prosedur yang harus dilalui. Terutama nanti masyarakat yang setuju itu ada berapa orang, kemudian pemetaan lahan. Ini luasnya berapa yang harus diajukan untuk TMKH ini. Nah ini baru nanti kita membuat usulan. Usulan ini akan kita sampaikan ke kementrian kehutanan, dalam hal ini lewat perhutani.
Setelah itu, kata dia, di ACC dan tidak nya, ini tergantung dari atas juga, kan harus ada felak juga. Jadi bukan semata mata tanah yang ada ini harus di Carikan pengganti (ditukar kemudian warga yang ada ini dilakukan penggusuran), tidak sebetulnya.
“Jadi kalaupun ada program TMKH ini, masyarakat yang ada di kawasan Magarsarn ini tetap menghuni lahan tersebut, yang nantinya akan menjadi hak milik,” terang Heri Nurhandoyo.
Lebih lanjut Heri menjelaskan, dengan hak milik ini, tentunya dengan melalui program TMKH ini. tanah yang ada menjadi hak milik, Kemudian lahan yang ada untuk dijadikan pengganti lahan perhutani.
Kata ia, Kalaupun seandainya ada warga masyarakat yang tidak sependapat ataupun keberatan. Sebetulnya tidak ada paksaan dalam hal ini. Artinya, memang usulan ini dari bawah yang mengusulkan. Dan yang ingin tanah tersebut menjadi hak milik adalah warga masyarakat sendiri.
Kalaupun masyarakat setuju, tetap di proses akhirnya nanti, memang yang menjadi sulit itu karena adanya ketidak sepahaman antara masyarakat yang ada, akhirnya timbul gesekan, yang informasi itu diterima sepotong potong. Jadi kalau memang informasi itu diterima utuh dan sepenuhnya, mungkin masyarakat juga akan bisa memahami.
Terkait dengan harga yang di patok Rp 35.000, Heri menerangkan, bahwa untuk di kawasan magarsarn sebetulnya yang di dusun Karanganyar ini, sepengetahuan kami panitia yang kemarin sudah dibentuk itu, sebetulnya masih belum menentukan pagu harga. Memang pagu harga sendiri ini yang di buat acuan di desa kandang Tepus, yang sudah pernah melakukan pengukuran dan pengusulan itu membuat pagu harga per meter Rp 35.000. Kalaupun di dusun Karanganyar desa Burno ini sebetulnya belum, kita belum melangkah sampai ke pagu harga. Bahkan usulannya pun ini sebetulnya belum diproses, masih dalam tahapan tahapan untuk lahan yang mau diusulkan.
Terkait dengan pemasangan patok yang terlihat sudah tertancap di lahan tersebut, Heri menjelaskan, bahwa untuk pemasangan patok yang sudah ada tandan ijab itu. menurutnya, sebetulnya itu warga yang sudah setuju. “Warga yang setuju dengan adanya TMKH, atau yang mau di usulkan TMKH itu, akhirnya panitia mendatangkan bagian ugrah hukum agraria dari kph Probolinggo, bahkan kemarin untuk pengukuran petak petak yang sudah disetujui oleh warga untuk dilakukan TMKH, ini sudah diukur bersama dengan bagian ugrah yang bagian dari kph Probolinggo”, jelasnya.
Ditanya apakah pihak desa turut menyaksikan dalam hal ini, Heri menyampaikan kalau pihaknya juga turut berada di lokasi, “Untuk yang sudah diukur, pihak desa juga ikut di sana. Kemudian dari pihak lmdh, kemudian dari pemangku wilayah. Dalam hal ini perum perhutani yang ada di krph Senduro juga ikut”, terangnya.
Himbauan kami sebagai pemerintah desa, dalam hal ini, memang Setidaknya kita harus sepaham dulu terkait dengan TMKH yang akan diajukan ini, supaya nanti kedepan tidak timbul permasalahan dan perselisihan. Kalaupun nanti TMKH ini nanti tidak bisa diproses dengan prosedur dan aturan yang ada, ya Monggo Monggo saja. Kita lalui dan kita ajukan bersama sama.
“Kalaupun hal itu tidak bisa, tentunya pemerintah desa juga tidak bisa memaksa, karena ini namanya usulan, namanya usulan belum tentu di ACC,” jelas Heri.
Heri menyatakan, Kalaupun nantinya program TMKH ini nanti tidak di ACC pun, tidak dilakukan tukar menukar kawasan hutan. Masyarakat tetap tinggal di sana. Selama ini belum ada masyarakat harus pergi, karena ini bukan lahan hak milik, Endak. Sejauh ini masyarakat tetap tinggal di sana. “Intinya tidak ada paksaan sebetulnya”, pungkas Heri Nurhandoyo.
Petugas perhutani dan pemerintah desa menghimbau agar masyarakat tetap tenang dan tidak terpancing oleh isu-isu yang menyesatkan. Terlebih petugas mengharap warga agar bertanya langsung kepada pihak perhutani atau pemerintah desa jika terdapat informasi yang di anggap warga kurang jelas.
Sehingga dengan demikian kerukunan antar warga dan pihak terkait tetap terjaga dengan baik.
Selain itu, petugas perhutani dan pemerintah desa mengatakan jika masyarakat menolak dilakukannya tukar menukar kawasan hutan. Masyarakat tetap bisa menempati tanah atau lahan tersebut. Dan tidak akan dilakukan penggusuran. (Ria)
Komentar