PILKADA, PANDEMI DAN KORUPSI

Oleh : Dr. Musa Darwin Pane. SH. MH
Ahli Hukum FH Unikom dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI)

 

Pemilu adalah pilar demokrasi yang menjadi landasan politik bangsa dan negara dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dilaksanakannya pilkada serentak bertujuan untuk terciptanya efektifitas dan efisiensi anggaran.

Menurut Beetham normatifitas demokrasi bertujuan untuk memberi ruang kontrol rakyat terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan politik dan solidaritas antara warganegara yang mensyaratkan seperangkat prinsip umum tentang hak dan kemampuan bagi semua orang untuk berpartisipasi, otorisasi, representasi dan bertanggungjawab secara transparan.

Berbicara mengenai rencana Pilkada 2020, terdapat beberapa hal yang penting untuk diperhatikan, diantaranya yaitu terhadap ketentuan Pasal 63 ayat (1) PKPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) yang menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan peserta Pilkada 2020, KPU mengizinkan gelar konser untuk kampanye, dimana meskipun dibuat berlandaskan undang-undang, akan tetapi dalam keadaan pandemi covid 19, semestinya merupakan hal yang dapat dijadikan dasar terhadap pengecualian penerapan aturan tersebut, meskipun Satgas Covid-19 menentukan bahwa terdapat pembatasan dari segi jumlah yang hadir sebanyak 100 orang dengan menggunakan protokol kesehatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2020,

Namun secara logika hal tersebut memiliki potensi dan/atau resiko yang tinggi (menimbulkan klaster baru) sehingga bertentangan dengan tujuan dari upaya pencegahan penyebaran covid 19 yang merupakan bencana nasional.

Dengan kata lain tidak terdapat jaminan bahwa penyelengaraan konser musik tersebut dapat berjalan dengan baik sebagaimana ditentukan dalam protokol kesehatan. Oleh karenanya perlu dipahami bahwa asas memiliki nilai tertinggi dibandingkan aturan.

Artinya terdapat hal yang lebih utama yang harus memiliki skala prioritas, dimana bahwa setiap kebijakan harus disertai dengan komitmen yang kuat serta konsistensi dalam penegakan hukumnya. Dalam asas (principle), keberlakuan beberapa asas yang berbeda dan bertentangan, dapat saja berlaku bersama-sama tanpa ada yang dinyatakan tidak sah (invalid). Apa yang harus dikerjakan terhadap asas yang berselisih ini adalah weighing dan balancing (abwagung).

Sehingga dapat dilakukan pertimbangan tujuan mana yang lebih utama dari kedua aturan yang berbeda. Selain itu KPU dan Bawaslu yang kini telah mulai menerima berkas pendaftaran bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati pada tahun 2020 harus betul-betul selektif dalam menjamin keabsahannya, pasalnya sebagai calon sosok pemimpin harus memiliki integritas yang tinggi dalam memimpin anggotanya yang berdampak terhadap kebijakan-kebijakan yang diterbitkannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Baru-baru ini terdapat pemberitaan mengenai wakil bupati mengalami kecelakaan lalu lintas yanag diduga tengah mabuk, hal tersebut merupakan salah satu contoh terkait pemberitaan yang menjadi pusat perhatian dan penilaian masyarakat terhadap sikap pejabat tersebut. Selain itu perlu dipastikan bagi pendaftar dalam pilkada 2020 ini tidak melanggar protokol, memiliki hasil negatif terhadap covid 19 dan lain-lain.

Hingga kini Rabu tanggal 16 September 2020 kasus covid 19 berjumlah sebanyak 228.993 orang. Melihat tingginya jumlah kasus covid 19 akhir-akhir ini, maka sebaiknya pelaksanaan pilkada ditunda sampai 6 (enam) bulan mendatang terlebih pandemi covid 19 ini belum terkendali dan demi keselamatan rakyat oleh karenanya perlu adanya pejabat sementara (pjs) guna pencegahan penyebaran covid 19.

Selain itu, terkait kampanye sebaiknya dapat dilakukan melalui media online sehingga mencegah terjadinya kerumunan yang berpotensi terhadap penyebaran covid 19. Berdasarkan hal tersebut tidak boleh juga dilakukan pilkada tidak langsung dengan alasan telah terjadinya pandemi covid 19, hal ini karena dalam perspektif negara demokrasi, pemilihan kepala daerah dapat dilaksanakan melalui pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung, akan tetapi sebagai negara demokrasi yang memperhatikan asas-asas serta dari sisi kemaslahatannya dimana pameo dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, maka pemilihan langsung dinilai lebih sesuai dengan demokrasi Pancasila, adapun terkait anggaran yang dinilai memakan biaya lebih besar senyatanya masih dapat dilakukan review sesuai dengan perkembangan kebutuhan.

Selain dilakukannya review tentu harus adanya pengawasan baik secara yuridis sampai pada tataran teknisnya, melakukan proses rekruitment yang tepat dalam mengikutsertakan masyarakat dalam proses pemilihan umum, melakukan budgeting yang tepat serta dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat menekan dan/atau meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi yang menodai demokrasi itu sendiri.

 

Publikasi : Redaksi Sidikkasus

Komentar