Pilkada, Cukong Pesta

Berita sidikkasus.co.id

Analisa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan indikasi 82% calon kepala daerah didanai oleh sponsor.

Disebut dibiayai oleh cukong karena biaya politik masih selangit dan praktik demokrasi industri memang sudah berjalan sejak lama dan masih terus dibiarkan.

Ada banyak sponsor yang disebut sebagai cukong dan sudah hadir semenjak era otonomi daerah pertama kali digelar. Besaran dana sponsor pun terus meningkat.N70% pada 2015 meningkat menjadi 82% pada 2017 dan 2018.

Meski sponsor kerap muncul setiap kali pilkada digelar, upaya nyata untuk melawan para cukong sampai hari ini belum tampak.

Otoritas untuk itu cuma bermain sebatas wacana dan bisa berdampak pada delegitimasi pilkada. Sumber masalahnya ialah biaya politik yang amat mahal.

Biaya dikeluarkan oleh setiap orang calon bupati, berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri, sekitar Rp30 miliar. Calon gubernur bahkan jauh lebih besar lagi, yakni bisa mencapai Rp100 miliar.

Besaran biaya yang dibutuhkan calon tidak seimbang dengan kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan data laporan harta kekayaan penyelenggara negara, rata-rata total harta ke kayaan calon kepala daerah sekitar Rp6,7 miliar. Bahkan, ada yang memiliki harta negatif.

Biaya terbesar yang dikeluarkan oleh calon adalah untuk kebutuhan kampanye dan mahar politik. Bukan rahasia lagi, pada umumnya calon membeli dukungan dari partai politik.

Dalam konteks inilah, patut diapresiasi jika ada partai yang secara terbuka menyatakan diri untuk menduduki calon kepala daerah tanpa meminta adanya mahar politik.

Alokasi dana lainnya yang nilainya cukup besar dipakai oleh calon untuk keperluan sosialisasi, membiayai survei, kampanye, dan membayar saksi, hingga penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan.

Ada kesenjangan antara kemampuan keuangan calon kepala daerah dan biaya yang harus dikeluarkan yang menyebabkan calon mencari dan menerima dana dari pihak luar.

Dana itu bersumber dari cukong politik. Pada umumnya, setelah calon yang didukung dinyatakan menang, sponsor pilkada mengharapkan kemudahan perizinan dalam berbisnis, kemudahan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa dilingkungan pemerintahan, keamanan dalam menjalankan bisnis, dan kemudahan akses untuk menjabat di pemerintahan daerah atau BUMD.

Ungkapan tidak ada makan siang gratis belakangan diketahui benar adanya. Cukong politik, berdasarkan hasil studi Bawaslu pada 2018, berada di balik aksi borong partai untuk mendukung calon tunggal.

Cukong yang juga disebut sebagai orang kuat lokal itu malah memerankan diri sebagai pemerintah bayangan yang mengatur kebijakan penetapan tender setelah pilkada.

Harus tegas dikatakan bahwa balas budi setelah menang pilkada itulah yang mengantarkan kepala daerah ke balik jeruji tahanan.

Mereka tergelincir dalam kubangan korupsi. Regulasi pilkada sesungguhnya membolehkan calon untuk menerima sumbangan dari baik perorangan maupun perusahaan tapi dalam jumlah tertentu.

Akan tetapi, sumbangan itu harus dilaporkan kepada KPU. Namun, yang terjadi biasanya calon menyiasati dengan pembukuan berbeda antara sumbangan resmi dan sumbangan tidak resmi.

Sudah waktunya penyelenggara pemilu dan pemerintah bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri pendanaan calon kepala daerah yang mengikuti pilkada serentak tahun 2020 ini.

Jangan lagi berwacana, segera lakukan sesuatu yang nyata untuk mencegahnya. Jangan biarkan pilkada dibajak oleh para cukong.

Jika itu terjadi, pilkada sebagai bentuk demokrasi lokal bisa menjadi pesta bagi para cukong.

(MENA)

Komentar