Berita sidikkasus.co.id
DISPARITAS hukuman kian mencolok antara satu koruptor dan koruptor lain dan dinilai sanggat mengganggu rasa keadilan di masyarakat.
Hakim pengadilan Tipikor seharusnya bisa menjatuhkan vonis lebih profesional agar tidak mencederai rasa keadilan karena harus serasi dalam membuat keputusan atas perkara yang sama.
Guna menghindari disparitas seperti itu, Mahkamah Agung (MA) merilis Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1/2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam (Perma) yang dibubuhi tandatangan oleh Ketua MA Syarifuddin itu, MA memberikan pedoman kepada para hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi untuk memberikan vonis hukuman dalam berbagai kategori.
Salah satu di antaranya ialah pelaku korupsi yang terbukti merugikan negara senilai minimal Rp 100 miliar harus dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau penjara minimal 16 tahun sampai 20 tahun.
Dalam Perma No 1/2020 yang diundangkan pada 24 Juli dan salinannya diperoleh wartawan, itu disebutkan lima kategori korupsi dengan kisaran hukuman yang sepatutnya diberikan hakim kepada koruptor.
Menurut juru bicara MA Andi Samsan Nganro, terbitnya perma itu diharapkan dapat membuat hakim menghindari disparitas perkara dengan karakter serupa. “Ini berarti, hakim tipikor dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi menyangkut Pasal 2 atau Pasal 3 putusannya lebih akuntabel.
Artinya, pidana yang dijatuhkan itu dapat dipertanggungjawabkan dari segi keadilan proporsional, keserasian, dan kemanfaatan, terutama bila dikaitkan dengan satu perkara dengan perkara lain yang serupa,” ujar Andi, kemarin.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Plt juru bicara KPK Ali Fikri menyambut baik terbitnya perma tersebut. “KPK menyambut baik perma dimaksud, sekalipun tidak untuk semua pasal tipikor seperti pasal suap-menyuap, pemerasan, dan lain-lain serta tindak pidana korupsi lainnya,” kata Ali Fikri di Jakarta, kemarin.
KPK berharap dengan terbitnya perma itu tidak terjadi lagi disparitas dalam putusan tipikor. Dewan Pimpinan Pusat Forum Keadilan Rakyat Indonesia mengapresiasi terbitnya perma itu. Apalagi perma itu, menurut Adenia, tetap menjaga independensi, profesional, dan integritas hakim.
Di lain sisi, Dewan Pimpinan Pusat Forum Keadilan Rakyat Indonesia, Adenia memberikan sejumlah catatan mengenai perma tersebut sebagai bahan evaluasi bagi MA bila kelak akan menguji ulang perma ini.
Salah satunya ialah klaster perkara korupsi yang termasuk rana kasus kelas kakap. Korupsi besar bisa dikategorikan bila merugikan negara di atas Rp 100 miliar.
“Angka itu terlalu tinggi. Mestinya Rp 50 miliar ke atas sudah paling berat. Kalau Rp 100 miliar ke atas gap atau limitnya terlalu tinggi, harus ditinjau ulang,” katanya.
(Adeni Andriadi)
Komentar