PEMERINTAH mengambil langkah tegas dalam rangkaian upaya penanggulangan wabah covid-19 sejauh ini.
Dilarang mudik!
Larangan tidak lagi untuk aparat sipil negara, pegawai BUMN, ataupun TNI/Polri, tetapi berlaku untuk masyarakat luas.
Tepatnya, untuk seluruh warga yang tinggal di wilayah-wilayah yang menjadi zona merah covid-19 dan sedang menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.
Larangan ini mulai berlaku terhitung pada hari pertama Ramadan, yakni pada 24 April lalu.
Larangan ini disebut-sebut terlambat. Ratusan ribu orang telah lebih dulu keluar dari zona merah untuk mudik. Itu jumlah akumulasi dari sejak pemerintah masih gamang menerapkan kebijakan karantina sampai akhirnya memberlakukan PSBB.
Para pemudik, terutama yang kehilangan mata pencaharian, memilih kembali berkumpul dengan keluarga di kampung halaman.
Meski begitu, masih ada jutaan lainnya yang berniat melanjutkan ritual pulang kampung selama periode Ramadan dan Lebaran. Hasil survei daring Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan menunjukkan sebanyak 57% responden yang potensial sebagai pemudik memutuskan untuk tidak mudik, 37% belum mudik, dan 7% sudah mudik.
Dari jumlah yang belum mudik, sebanyak 34% menyatakan tetap akan mudik.
Kemudian, menurut hasil survei Katadata Insight Center (KIC), sebanyak 12% responden menyatakan akan mengabaikan imbauan tidak mudik. Bila dihitung sebagai representasi pemudik, jumlah mereka tidak kurang dari 3 juta orang.
Dengan begitu, larangan mudik bisa dikatakan belum benar-benar terlambat. Kini tinggal teknis penerapan di lapangan agar larangan itu benar-benar efektif. Kementerian Perhubungan menyatakan seluruh angkutan umum dan kendaraan pribadi akan dilarang keluar atau masuk zona merah dan wilayah PSBB.
Kendaraan yang bisa melintas batas zona itu hanya angkutan logistik dan barang.
Penjabaran larangan mudik seperti itu cukup melegakan. Artinya, larangan tidak sebatas orang yang hendak pulang ke kampung halaman, tetapi untuk semua perjalanan lintas batas zona merah covid-19.
Maka logikanya, operasional seluruh moda transportasi penumpang mulai dari bus antarkota antarprovinsi, kereta api jarak jauh, kapal laut, hingga pesawat terbang harus disetop. Selain itu, tutup semua celah yang bisa dimanfaatkan kendaraan pribadi untuk mencuri-curi jalan ke luar dan masuk zona.
Yang tidak kalah penting ialah penegakan aturan. Ketegasan merupakan kunci efektivitas upaya menanggulangi wabah covid-19. Bila sanksi telah ditetapkan, tidak satu pun pelanggar yang diperbolehkan lolos.
Ketegasan juga tecermin dalam redaksional peraturan. Jangan sampai terdapat celah-celah kelonggaran yang bisa dimanfaatkan hingga kontraproduktif terhadap tujuan aturan itu sendiri.
Contohnya, kebijakan memberikan izin kepada industri secara luas untuk beroperasi di tengah PSBB. Pemilihan mencatat terdapat 834 badan usaha yang seharusnya tidak masuk pengecualian, tetapi beroperasi dengan izin Kementerian Perindustrian.
Pantas saja semenjak PSBB diterapkan, di Ibu Kota negara justru lebih ramai ketimbang ketika kebijakan social distancing baru berupa imbauan.
Sebuah bukti bahwa pemerintah masih gamang menentukan prioritas, nyawa rakyat, atau perekonomian.
Oleh : Adeni Andriadi
Komentar