Melawan Musuh tidak Terlihat

TAHUN 2020 belum genap 5 bulan, tetapi sudah banyak sekali ancaman mengintai dunia.

Perang dagang AS-Tiongkok belum usai, dan perang proksi antara AS dan Iran, hingga Covid-19 terus berlanjut.

Tanpa covid-19, 2019 lalu, Nouriel Roubini sudah meramalkan kemungkinan resesi pada tahun 2020.

Roubini lebih banyak menunjuk hidung Trump sebagai penyebab resesi tersebut.

Ada fenomena stagflasi, resesi akibat perang dagang, dan juga gelombang proteksi berlebih­an dan menyulut api krisis.

Roubini benar. Di Amerika Serikat (AS), setidaknya akan ada 6,5 juta tenaga kerja terkena dampak, baik secara langsung maupun tidak, karena tarif dikenakan secara berlebihan pada komponen input produksi.

Mereka terancam kehilangan pekerjaan akibat naiknya ongkos produksi industri terkait (infrastruktur dan manufaktur).

Alih-alih meningkatkan kese­jahteraan, Trump justru menggali lubang kubur untuk Amerika Serikat.

Untungnya, potensi perang dagang mereda karena ada permasalahan baru yang cukup menyita perhatian, covid-19.

Dikatakan beruntung karena tensi AS dan Tiong­kok tidak setinggi beberapa bulan lalu, meskipun covid-19 ini ternyata membuat potensi perekonomian dunia jauh lebih terpuruk. Masalahnya, covid-19 ini adalah musuh tidak terlihat.

Kenali diri sendiri dan lawan

Sun Tzu dalam The Art of War mewanti-wanti, ‘Jika Anda tahu musuh dan mengenali diri sendiri, Anda tidak perlu takut hasil dari 100 pertempuran.

Jika Anda mengenali diri sendiri, tapi bukan musuh, untuk setiap kemenangan yang akan diperoleh, Anda akan menderita kekalahan.

Jika Anda tidak tahu akan musuh ataupun diri sendiri, Anda akan menyerah dalam setiap pertempuran’.

Kata kuncinya adalah kenali diri sendiri dan kenali lawan. Sehingga dampak dari sebuah gejolak akan menjadi lebih terukur dan mitigasi kebijakan akan menjadi lebih terarah.

Dari simulasi yang kami buat menunjukkan bahwa tekanan eksternal memang jelas terefleksi pada volatilitas perekonomian, tapi efeknya tidak akan bertahan lama.

Justru, tekanan dari neraca akun semasa (current account balance)-lah yang akan memberikan efek kelebaman makin lebih besar.

Temuan ini kemudian diperkuat tes Forbes Rigobon, yang menyatakan tidak ada hubungan penularan yang signifikan antara keadaan ekonomi global dan kondisi perekonomian domestik.

Sebagai tambahan, hasil dari dekomposisi variabel menunjukkan bahwa sebenarnya yang membawa perekonomian tertekan cukup dalam pada jangka pendek ialah lebih kepada faktor ekspektasi liar, bukan semata-mata faktor fundamental.

Dengan kondisi pasar tidak menentu akibat covid-19, kepanikan dan spekulasi ialah musuh nyata dalam jangka pendek.

Meskipun beberapa rilis data menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat covid-19 masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan SARS, covid-19 justru membuat dunia lebih panik karena daya jangkaunya lebih luas dan kontribusi dari perekonomian Tiongkok terhadap dunia yang cukup signifikan.

Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa ia lebih khawatir dampak dari covid-19 jika dibandingkan dengan Brexit yang pernah menjadi salah satu topik pada awal 2020.

Beliau boleh jadi benar mengingat analisis dampak yang kami lakukan menunjukkan bahwa efek dari Brexit memang cukup minimal, yang mana kejadian ini ‘hanya’ berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga maksimal 0.007%.

Sementara itu, covid-19 berpeluang menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 0,1%-0,2% setiap 1% penurunan ekonomi Tiongkok.

Meski terbilang besar, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain, prospek kontraksi ekonomi ini masih jauh lebih baik. Hal ini disebabkan struktur perekonomian Indonesia cenderung mengalami decoupling dengan perekonomian global sehingga dampak jaringan produksi Tiongkok tidak terlalu besar.

Lantas, seberapa besar potensi perekonomian Tiongkok turun lebih dari 1%?
Hasil simulasi adhoc kami menunjukkan bahwa probabilitas tersebut masih cukup kecil, dari 20% hingga 30%.

Hal ini didukung oleh data historis pada 2003 ketika perekonomian Tiongkok harus terjerembap oleh SARS dari 11,1% di kuartal pertama ke 9,1% di kuartal berikutnya.

Namun, dengan fondasi perekonomian yang kuat, perekonomian Tiong­kok berhasil rebound di kuartal ketiga hingga menyentuh 10%.

Bahkan, tetap mempertahankan kinerja ekonomi tinggi hingga 2007, terlebih mencetak salah satu rekor pertumbuhan tertinggi tahunan di angka 14%.

Jika demikian, bagaimana seha­rusnya pemerintah melakukan mi­tigasi ekonomi?

Untuk meredakan tekanan pada perekonomian, ada baiknya jika kita fokus pada pembenahan fondasi dasar sebagaimana itu terefleksi pada tekanan neraca akun semasa.

Tekanan ini juga lebih banyak disumbang kinerja sektor riil, terutama industri yang kontribusinya cukup tertahan.

Meminjam istilah Dani Rodrik, Indonesia mengalami tren deindustrialisasi yang prematur. Anda tahu kan nasib bayi prematur?

Perlu disiapkan inkubator untuk menunjang hidupnya! Namun, ja­ngan salah sangka, kami tidak akan memakai istilah ini untuk menjadi pembenaran pada kebijakan industri yang proteksionis karena dengan istilah itu alih-alih bisa semakin berdaya, justru industri kita semakin tertinggal dalam persaingan global.

Menurut penelitian kami, bahkan Indonesia sudah tertinggal dari Filipina dan Vietnam dalam partisipasinya di jaringan rantai produksi global.

Indonesia harus lebih membuka diri pada persaingan global dan menghilangkan tarif-tarif yang merusak.

Pada penelitian kami lain, pemberedelan tarif impor akan terefleksi positif pada produktivitas industri yang mana pada gi­lirannya akan mampu meningkatkan output produksi secara signifikan.

Selain dorongan produktivitas, untuk mampu mengungkit industri, Indonesia butuh topangan infrastruktur, SDM, dan penguatan institusi.

Terkait dengan hal ini, pemerintah sudah berada pada jalan yang benar, meski harus memilah-milah prioritas sembari berselancar dengan tuntutan populisme.

Salah satu yang paling mendasar untuk mendongkrak kinerja perekonomian jangka panjang ialah dengan berbagai tekanan dan gejolak penguatan institusi.

Omnibus law yang sudah banyak dibicarakan khalayak merupakan salah satu purwarupa penguatan institusi tersebut. Hanya, pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah, terutama mengenai keterlibatan para pemangku kepentingan dari industri, komunitas, dan juga akademisi, mengingat banyaknya isu-isu kontroversial dan perlu dicari jalan keluarnya.

Dengan inkubator memadai dan diselimuti institusi perekonomian solid, denyut nadi industri yang semula lemah bisa kembali normal.

Dengan degup industri yang kuat, ekspor Indonesia diharapkan semakin menanjak sehingga tekanan pada neraca akun semasa (current account) bisa mereda.

Kinerja neraca akun semasa yang baik tentunya akan semakin meminimalisasi tekanan pada perekonomian. Yang jelas proses ini butuh waktu dan butuh kesabaran.

Menangkal efek tular

Untuk menangkal efek tular dari covid-19 di jangka pendek, upaya pemerintah perlu difokuskan pada insentif harga-harga produk konsumsi.

Menurut hitung-hitungan kami, dengan skenario 10% penurunan harga, output punya potensi meningkat hingga 0,18% dan meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar 0,26%.

Hal ini sejalan dengan dominannya kontribusi sektor konsumsi pada perekonomian Indonesia.

Berikutnya, di jangka menengah merujuk pada perhitungan struktur perekonomian Indonesia, jasa angkutan udara merupakan salah satu sektor paling penting dengan keterkaitan hulu dan hilir (backward and forward linkage) yang tinggi.

Dari perhitungan kami pada 17 sektor kunci, dalam ekonomi yang memiliki forward dan backward linkage paling tinggi, jasa transportasi udara setidaknya terhubung dengan beberapa sektor, yaitu angkutan jalan raya, reparasi mobil dan motor, restoran dan perhotel­an (pariwisata), industri sepeda motor, jasa informasi, serta jasa penunjang angkutan.

Dengan demikian, dorongan yang berasal dari industri ini akan berdampak signifikan kepada sektor-sektor yang lain.

Tak kurang dari industri kargo, restoran dan hotel, serta pariwisata secara keseluruhan akan terkena dampak dari kebijakan positif ini, mengingat sektor pariwisata dan kargo merupakan penghela perekonomian Indonesia.

Maka, langkah pemerintah untuk memberikan insentif harga bagi sektor transportasi udara akan menciptakan bantalan empuk bagi perekonomian.

Berikutnya ialah pemilihan negara nontradisional. Dengan banyaknya masalah yang mengiringi perekonomian mitra tradisional Indonesia (AS, Tiongkok, Jepang, Singapura), perlu dibuat peta jalan lebih konkret untuk menyasar mitra nontradisional.

Berdasarkan studi kami beberapa tahun lalu, negara-negara Afrika, semisal Pantai Gading, Afrika Selatan, Nigeria, dan negara-negara Amerika Latin, seperti Argentina, Brasil, Cile, dan Peru. Bahkan, negara-negara Eropa Timur yang meliputi Rusia, Polandia, dan Ukraina merupakan negara-negara yang sangat potensial untuk dijadikan sasaran ekspor dan juga peningkatan kerja sama ekonomi lebih luas.

Diversifikasi portofolio negara tujuan ekspor menjadi sangat penting di jangka menengah dan panjang untuk dapat menjaga kesinambungan perekonomian Indonesia.

Saat ini memang tantangan perluasan pasar ialah dari sisi logistik dan ongkos transportasi, tetapi secara dinamis kendala ini bisa berkurang seiring dengan meningkatnya skala ekonomis dari para mitra dagang tersebut.

Pencapaian skala ekonomis tersebut akan dapat diakselerasi apabila dengan perjanjian kerja sama ekonomi formal berupa FTA atau CEPA.

Ke depan, liberalisasi dan peningkatan kompetisi merupakan salah satu jawaban untuk meningkatkan resiliensi perekonomian Indonesia.

Solusi jangka panjang harus melibatkan ekosistem perekonomian secara utuh yang sebagaian besar berakar pada permasalahan institusional.

Melawan musuh yang tidak terlihat memang sulit, tetapi kadang kala jauh lebih sulit untuk mengenali diri sendiri.

Jangan-jangan itulah tantangan terbesar untuk perekonomian Indonesia, mengenali diri sendiri.

Tim Sidik Kasus Sumsel

Komentar