Berita sidikkasus.co.id
Disaat perang melawan covid-19 belum mencapai garis pita, tiba-tiba hari ini publik digemparkan oleh sebuah video viral di media sosial tentang nasib naas yang dialami oleh seorang pekerja migran asal Indonesia bekerja di kapal asing pencari ikan.
Tragedi kemanusiaan, begitu publik menyebutnya. Sebanyak 18 anak buah kapal (ABK) di tiga kapal pencari ikan berbendera Tiongkok tidak hanya mengalami apa yang didukung sebagai perbudakan modern. Mereka dieksploitasi, digaji kecil, dan jam kerja melampaui batas kewajaran. Diduga kuat, mereka telah mengalami pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Saat mati pun nasib mereka tak lebih baik ketimbang ketika mereka hidup dalam ‘perbudakan’ didalam kapal. Dalam perjalanan, tiga dari 18 ABK itu meninggal karena sakit. Jasadnya tidak dibawa ke darat, tetapi justru dilarung ke laut. Seorang ABK kembali meninggal di sebuah rumah sakit di Busan, Korea Selatan, ketika kapal itu merapat ke daratan.
Meskipun melarung jasad termasuk salah satu opsi penanganan jenazah menurut ketentuan ILO Seafarer’s Service Regulation, tetap saja fakta-fakta yang tergambar dari kejadian itu membuat publik mengelus dada.
Sebagian besar publik terkaget-kaget, ternyata selama ini perlindungan terhadap para pekerja migran Indonesia di sektor kelautan masih amatlah sanggat lemah. Namun, bagi sebagian yang lain, terutama aktivis perlindungan pekerja migran, aktivis HAM, dan aktivis lingkungan, kenyataan itu mungkin tidaklah mengejutkan.
Sejak lama, nasib pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan amat rentan mengalami eksploitasi, perbudakan, dan sebagainya.
Bahkan, sangat mungkin mengarah ke tindak pidana perdagangan orang. Apa pasal? Salah satunya mereka tak cukup memiliki modal pelindungan yang cukup dari negara.
Harus diakui, tidak ada sama sekali instrumen pelindungan yang memadai untuk mereka. Undang-Undang No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia memang telah mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai pelindungan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan.
Akan tetapi, nyatanya sampai hari ini turunan aturan itu masih nihil. Ibarat kata, mereka, para pekerja migran itu, tak dibekali payung, bahkan ketika mereka harus menghadapi badai.
Karena itu, respons pemerintah terhadap kasus ini mestilah tepat dan tak boleh gegabah. Harus tegas, tapi juga tak melupakan bahwa ada andil negara sehingga para pekerja di laut teramat mudah dan sering mendapat perlakuan semena-mena.
Kita boleh marah, tapi tak selayaknya cuma menimpakan kekesalan kepada perusahaan pemilik kapal dan pemerintah negara yang benderanya terpasang di kapal tersebut. Yang utama saat ini, pemerintah mesti mengupayakan secara maksimal hak-hak keempat ABK yang meninggal dunia itu.
Juga memberikan pelindungan maksimal kepada 14 ABK yang saat ini tengah menjalani masa karantina di Korea Selatan sekaligus memastikan proses pemulangan mereka ke Tanah Air saat masa karantina sudah habis.
Kiranya pembicaraan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan Duta Besar Tiongkok untuk RI di Jakarta, kemarin, pemerintah Indonesia meminta klarifikasi dan mendapatkan informasi yang valid apakah pelarungan tiga jenazah ABK sudah sesuai standar ILO.
Pun meminta dukungan pemerintah Tiongkok untuk membantu pemenuhan tanggung jawab perusahaan atas hak para awak kapal Indonesia. Dari sisi domestik, kita juga mesti segera berbenah.
Jangan lagi-lagi hanya berkata kejadian ini harus menjadi yang terakhir, tetapi setelah itu lupa dan kembali mengesampingkan tugas negara untuk memberikan kepastian hukum pelindungan kepada para pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan.
Aturan pun mesti disinkronkan. Terkait dengan pekerja migran di sektor laut ini, sedikitnya ada tiga kementerian/lembaga yang bersinggungan, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Akan tetapi, dalam merumuskan aturan turunan untuk Undang-Undang No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia saja tak bisa cepat. Selesaikan saja itu dulu, tuntaskan. Jangan biarkan lautan yang lagi-lagi menentukan nasib para pekerja migran.
Adeni Andriadi
Komentar