Berita SidikKasus.co.id
Pangkalpinang — Lembaga Tinggi Masyarakat Adat Republik Indonesia Bangka Belitung menggelar Diskusi Panel tentang Pemberlakuan Hukum Adat yang digelar di Acara Rapat Kerja Wilayah I yang berlangsung di Ruang Pasir Padi Kantor Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu, 5 Desember 2020.
Hadir sebagai Nasumber Datuk Eka Mulya Putra, SE MSi dengan tema Pondasi Adat Budaya Bangka Belitung, Datuk Subardi, MKPd dengan tema Sejarah Hukum Adat di Bangka Belitung, dan Reko Dwi Saifutra, SH MH dengan tema Penegakan Hukum Adat di Era Melinia.
Datuk Eka Mulya Putra, sebagai inisiator terbitnya Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung No 4 Tahun 2012 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Melayu Provinsi Kepulauan Bangka Belitu g mengatakan ketika terbentuknya provinsi dilandasi dengan landasan Adat Budaya Melayu.
“Perda No 1 Tahun 2001, telah melandasi negeri ini sebagai negeri beradat,” jelas Sekretaris Palbatu sebagai emberio berdirinya Lembaga Adat Melayu di negeri ini.
Eka mengatakan akhir-akhir ini predikat tidak beradat sudah menjadi hal yang tidak memalukan dan cenderung biasa serta terkesan sudah tidak menghormati tokoh.
“Saya berharap kita yang berbagung di Lemtari ini harus menjadi orang yang beradat dan membudayakan adat budaya,” ajak Eka.
Sementara Direktur Kajian Budaya Melayu IAIN SAS Bangka Belitung, Datuk Subardi, M.K.Pd memaparkan hukum adat di Bangka Belitung pernah ada secara tertulis yakni Undang-undang Sindang Mardike yang terdiri dari 45 pasal yang mengatur kehidupan di Pulau Bangka.
“Setelah kita menjadi Republik Indonesia dan dengan dikeluarkannya SK Gubernur KDT I Sumsel nomor 142/KPTS/III/1983 Tentang Penghapusan Pemerintahan Marga dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sumsel sebagai lanjutan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemdes, maka sistem adat dinegeri ini dihapus,” jelas Subardi yang juga sebagai Dewan Pakar DPW Lemtari Bangka Belitung ini.
Ditambahkan, selanjutnya dimasa Republik hukum adat kembali menjadi rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni pada Tahun 2001, Provinsi Sumsel menerbitkan “Kompilasi Hukum Adat Kabupaten Bangka, Kota Pangkalpinang, dan Kabupaten Belitung.
Memperbaharui Undang-Undang Simbur Tjahaya (hal.v), memuat 95 pasal dan terbagi dalam hal Upacara Adat, Adat Sopan Santun, dan Hukum Adat: Perseorangan Adat, Keluarga, Tanah dan Benda, Perjanjian, dan Sengketa Adat. Kompilasi ini menyamakan Adat seluruh KDH Tk. II (Babel) dengan Palembang.cth.rasanan. padahal sebelumnya kita undang-undang sendiri, menggunakan Undang-undang Sindang Mardika, bukan Simbur Cahaya,” jelas Subardi.
Namun demikian, menurut Subardi, berdasarkan rumusan sebagaimana yang dikatakan Ubi societas ibi ius (Marcus Tullius Cicero (106-45 SM), dimana ada masyarakat, di situ harusnya ada hukum.
“Demikian menurut Van Vollenhoven yang menyatakan hukum Adat adalah keseluruhan antara tingkah laku yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat yang merupakan adat dan sekaligus mempunyai atau memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya dan ada upaya memaksa,” jelas Subardi.
Selanjutnya, Reko Dwi Saifutra, SH MH mengatakan hukum adat tidak musti terkodifikasi, tapi hokum adat bisa lahir ketika ada sesuatu yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat. “jika ada sesuatu yang terjadi lalu para tokoh adat memutuskannya itulah hukum adat,” jelas Dosen Hukum Adat di FH UBB ini.
Pewarta : Humas Lemtari Babel
Editor : Ahmad Bustani
Komentar