BANYUWANGI, JKN – Warga Banyuwangi yang ada di perantauan ternyata ada yang menjadi korban gempa tektonik 7,4 magnitudo. Korban gempa tersebut adalah keluarga Ketua Aisyiah Banyuwangi, Dwi Derita Ningtyas (56).
Saat gempa mengguncang Palu, Sigi, Parigi Moutong dan Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/18) petang lalu, dua cucu dan menantu perempuannya menjadi korban selamat dalam peristiwa alam yang menegangkan itu.
Dan pada Selasa (2/10/18) siang, Dwi Derita Ningtyas, bertemu kembali dengan putra ketiganya, Muhammad Septian (32), serta menantunya Yayuk Martini (30). Kedua cucunya, Davin (7), dan Safia (4), juga mengikuti kedatangan kedua orang tuanya di Bandar Udara Banyuwangi di Blimbingsari.
Satu keluarga ini tiba di Bandara Banyuwangi sekitar pukul 13.45 WIB dengan menumpang pesawat Wings Air dari Bandara Juanda Sidoarjo. Sebelum itu, Septian bersama keluarga kecilnya terbang dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Karyawan Bea Cukai Palu, Sulawesi Tengah, ini bertemu dengan anak serta istrinya di Bandara Sepinggan Balikpapan, Kaltim, usai menjalani evakuasi menggunakan pesawat Hercules dari Bandara Mutiara Sis Al Jufri Palu.
“Saat kejadian, saya sedang bertugas di Jakarta karena menjalani pendidikan. Di rumah hanya ada istri dan dua anak saya. Kebetulan kami menempati rumah dinas yang letaknya hanya 150 meter dari bibir pantai. Jadi yang merasakan ketegangan bencana itu mereka bertiga,” kisah karyawan Bea Cukai yang bertugas sebagai kapten kapal ini.
Pertemuan antara Dwi Derita Ningtyas dengan anak, menantu, serta cucunya berlangsung haru. Derita Ningtyas yang didampingi dua putri serta dua cucunya yang lain, langsung merangkul Yayuk Martini yang melangkah keluar dari pintu terminal kedatangan Bandara Banyuwangi. Keharuan itu berubah menjadi kepanikan ketika tubuh nenek tiga anak tersebut lunglai di lantai dan harus dibopong ke kursi tunggu terminal kedatangan.
Dituturkan Septian, dikala gempa mengguncang istrinya sedang ganti pakaian. Dalam suasana kepanikan itu pendamping hidupnya tersebut memerintahkan kedua anaknya agar menyelamatkan diri keluar rumah.
“Di suruh lari tak bisa akibat kerasnya guncangan. Akhirnya diperintahkan untuk merangkak. Untunglah istri dan anak kami bisa berlari menyelamatkan diri,” terang pria asal Kelurahan Pakis, Kecamatan Banyuwangi.
Namun, lanjut Septian, ketegangan masih belum berlalu. Yayuk yang sempat membawa kedua anaknya menuju lokasi aman sempat terpisah dengan Davin, putra sulungnya. Pikirannya pun tak karuan lantaran memikirkan nasib bocah yang masih duduk di kelas 1 SD.
“Istri dan anak kedua saya sempat ditolong pengemudi roda empat yang melintas untuk menyelamatkan diri. Tapi Davin tak jelas keberadaannya,” tutur lelaki yang delapan tahun tugas dinas di Palu.
Barulah selepas subuh pada keesokan harinya, nasib Davin diketahui. Anak pertamanya itu dalam kondisi selamat bersama warga lain yang mengungsi di kuburan. Ketika itu putranya sempat mengalami luka ringan di bagian kepala akibat benturan ketika terjadi guncangan gempa. “Ada karyawan Bea Cukai yang tinggal satu komplek rumah dinas mengenali Davin, lalu membantu menyelamatkan diri,” sambungnya.
Agar traumanya berkurang, Septian memutuskan membawa keluarga kecilnya untuk pulang kampung di Banyuwangi. Kebetulan istrinya juga asal Desa Alas Buluh, Kecamatan Wongsorejo. Setelah itu dia akan balik lagi ke Palu untuk menjadi relawan sekaligus menunaikan tugas sebagai karyawan Bea Cukai.
“Kondisi di sana belum kondusif, banyak penjarahan. Di Palu ada sekitar 900 KK warga asal Banyuwangi. Bagaimana nasib mereka belum jelas. Ada beberapa yang kontak hendak ikut evakuasi menuju Makassar,” pungkasnya di akhir ceritanya kepada media ini. (Ted)
Caption : Yayuk Martini (kerudung hitam), dipeluk Dwi Derita Ningtyas (kudung merah) saat tiba di Bandara Banyuwangi Blimbingsari
Komentar