Kompak Demo Kantor BPN Pertanyaan Hasil Prona Tahun 1983

CIREBON, JKN – jumat, 07/09/18. Adanya proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ke 2 (Dua ) di Desa Kanci Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon lagi menimbulkan kegaduhan ahli waris hingga kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) sasaran aksi demonstrasi lembaga Swadaya masyarakat (LSM) Komunitas Masyarakat Peduli Antikorupsi (Kompak ) Kabupaten Cirebon.


Dalam aksinya para ahli waris yang tergabung dalam LSM Kompak Cirebon, melakukan orasi dan keranda mayat di depan Kantor BPN Kabupaten Cirebon, Selasa (4/9/2018). Mereka mmempertanyakan kasus kepemilikan lahan yang diklaim milik 35 orang di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon.

Komunitas Masyarakat Peduli Antikorupsi dalam aksinya di BPN Kabupaten Cirebon, sejak pagi kantor BPN sudah disterikan oleh anggota Polres Cirebon baik menggunakan seragam polisi maupun berpakaian preman, untuk menyambut datangnya demonstran. Dalam orasinya mereka mempertanyakan ‘hilangnya’ enam bidang tanah di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon.

Koordinator aksi, Yosu Subardi, mengatakan, persoalan saat pihak desa melakukan pensertifikatan (Prona) atas usulan dari 35 bidang tanah seluas 20 hektare, namun pada akhirnya sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN hanya 29 bidang saja.

“Kejadian itu bermula pada 1983, salah satu bidang tanah yang sertifikatnya tidak ada itu adalah tanah keluarga saya. Kami tidak memahami, kenapa sertifikat atas tanah kami tidak ada, saat ini seluruh bidang tanah itu telah dilakukan kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada PLTU 2,” kata Yosu, pada audiensi dengan pihak BPN yang dihadiri oleh perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan ( KLHK) dengan mediator Kapolsek Astanajapura AKP, Yulianto Isyono.

Menanggapi ini, Kepala Seksi Hubungan Hukum Pertanahan BPN Kabupaten Cirebon, Ispriyadi Nurhantara mengatakan, pihaknya belum mengetahui berapa luas tanah atas total 35 bidang di Desa Kanci Kulon tersebut.

“Dari 35 bidang itu, kami belum tahu total luas tanahnya berapa. Sebenarnya kan yang dipertanyakan oleh massa tadi adalah tanah milik E Sumarta serta Kamim dengan total luas 5,9 hektare, keduanya masuk ke dalam daftar pemilik tanah tapi tidak terbit sertifikatnya dari BPN seperti yang dikatakan oleh massa tadi, nah untuk mengetahui apakah betul totalnya 5,9 hektar itu kami perlu mendata terlebih dahulu daftar penerima sertifikat pada tahun 1983,” kata Ispriyadi.

Menurutnya, nantinya setelah didapatkan data yang riil para penerima sertifikat di tahun 1983 tersebut, akan diketahui juga seluruh pemilik tanah pada tahun 1983 di Desa Kanci Kulon.
“Nanti jawaban tersebut akan kami sampaikan secara tertulis kepada pemohon. Untuk menyampaikan itu perlu waktu pengkajian dan teknis. Agar hasilnya akurat dan tidak merugikan semua pihak khususnya keperdataan ahli waris,” tandasnya.

Ispriyadi menambahkan, sebagai institusi pencatatan pendaftaran tanah, BPN bisa menunjukkan bukti dengan menunjukkan sertifikat ke 29 bidang tersebut yang sesuai dengan SK Gubernur.
“Saat ini seluruh tanah itu sudah menjadi hak pakai dari KLHK, pada dasarnya seluruh sertifikat 29 bidang tersebut sudah terdaftar di BPN Adapun luas keseluruhan apakah termasuk dari usulan 35 permohonan atau hanya 29 bidang sesuai SK Gubernur,” terangnya.
Sementara Perwakilan KLHK, Nurkamad menyatakan persoalan yang ditanyakan oleh ahli waris atau LSM Kompak sebenarnya menjadi kewenangan BPN untuk menjawabnya. Karena kasus ini sebenarnya sudah ada pengacara dari Cilandak menanyakan perihal yang sama.

Nurkamad menjelaskan data yang ada di KLHK tanah seluas 3, 29 hektar ada transaksi jual beli antara keluarga besar Maman dengan Hamimah dibuktikan kwitansi aslinya dibayar dua kali. Kemudian Hamimah menjual kepada KLHK sudah bersertifikat.
“Jadi soal bidang tanah dan asal usul sertifikat Hamimah, maka menjadi kewenangan BPN yang menjelaskan. Hal tersebut sudah dikaji oleh KLHK,” tegasnya.

Sebelum melakukan audiensi, pendemo melakukan aksi bakar keranda jenazah sebagai simbol matinya keadilan. Menurutnya, aksi yang dilakukan ini adalah untuk mempertanyakan keberadaan enam bidang tanah tersebut, di antaranya milik keluarga E Sumarta serta Kamim.

“Seolah-olah, ada upaya penyerobotan tanah warga dari pihak lain, entah itu oleh BPN atau oleh siapa. Makanya, kami ingin tahu ke BPN bagaimana nasib enam bidang tanah itu. Sekarang ke 35 bidang itu sudah dilakukan kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan PLTU 2,” katanya.
Yosu menambahkan, setelah aksi ini pihaknya akan kembali mendatangi BPN karena masih memerlukan jawaban lebih lanjut.
“Atau kami akan kembali melakukan aksi, sebab kami masih memerlukan jawaban yang komperehensif dengan pihak BPN,” pungkasnya.***Mulbae

Komentar