Berita sidikkasus.co.id
ATURAN dibuat untuk dijalankan dan bukan sesuka hati untuk dilanggar. Komitmen semacam itu belum sepenuhnya ditegakkan dalam situasi regulasi larangan mudik.
Oleh sebab itu, manajemen arus balik jangan dikelola asal jadi, sanksi tegas harus diberlakukan.
Sejak semula dampak pandemi covid-19 mewabahi awal tahun ini, dan pemerintah sudah meminta warga negaranya untuk tetap bekerja dari rumah. Belajar dari rumah, dan beribadah di rumah.
Dan komitmen semacam itu belum sepenuhnya efektif hingga dianggap perlu untuk mengeluarkan regulasi.
Salah satunya, ialah melarang warga negaranya untuk mudik pada saat menjelang Lebaran.
Perintah larangan mudik itu tertuang secara jelas didalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020. Berlaku mulai 24 April.
Akan tetapi, berdasarkan data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, hingga 20 April, sebanyak 42.506 warga negara republik Indonesia di Jakarta dan sekitarnya mencuri start untuk mudik ke 31 provinsi.
Jujur dikatakan, bahwa banyak warga yang berhasil mudik sukses mengelabui petugas di lapangan. Mudik memang dilarang, tapi ada pengecualian untuk mereka yang memenuhi syarat tertentu.
Persoalannya ialah persyaratan itu bisa diakal-akali, bahkan ada syarat yang sempat bisa dibeli lewat aplikasi online.
Ada pula pihak yang memanfaatkan larangan mudik untuk meraih keuntungan. Pihak itu menawarkan jasa mudik menggunakan mobil pribadi untuk mengangkut penumpang atau yang dikenal dengan travel gelap.
Data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, dari 24 April 2020 hingga 20 Mei 2020, total ada 377 unit kendaraan travel gelap disita polisi. Jumlah penumpang yang berhasil dicegah mudik mencapai 2.225 orang.
Boleh-boleh saja warga bisa mudik dengan segenap jurus akal bulus untuk mengelabui petugas. Akan tetapi, Pemerintah DKI Jakarta sudah mempersiapkan regulasi untuk membatasi sangat ketat untuk masuk Jakarta pasca Lebaran.
Anda bisa saja melenggang kangkung pulang kampung tapi belum tentu bisa kembali ke Ibu Kota secepatnya.
Dibutuhkan konsitensi dan ketegasan aparat di lapangan untuk mencegah arus balik. Jangan biarkan sekecil apa pun celah orang bebas bisa masuk kembali ke Ibu Kota, jangan pula menyeselaikan persoalan di lapangan dengan cara primitif.
Marwah regulasi bisa berjalan tegak lurus jika dikawal oleh aparat yang bertindak lurus sesuai aturan yang sudah dibuat.
Orang nomor satu di DKI Jakarta Anies Baswedan sudah menerbitkan Peraturan Pemerentah Provinsi DKI Jakarta No 47 Tahun 2020. Melalui peraturan itu akan diberlakukan mekanisme perizinan bagi penduduk Jakarta saat keluar kawasan Jabodetabek dan penduduk dari luar Jabodetabek saat masuk kembali ke Jakarta melalui surat izin keluar masuk.
Peraturan itu berlaku mulai 22 Mei atau bertepatan dengan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahap tiga di DKI Jakarta.
Surat izin itu harus bisa ditunjukkan di 12 titik pemeriksaan di wilayah Jakarta dan perbatasan.
Tugas berat Pemerintah DKI Jakarta ialah memastikan kebenaran seluruh persyaratan untuk mendapatkan izin yang dilakukan secara daring.
Persyaratan itu misalnya mengisi data diri layaknya identitas yang ada di KTP, pengaju juga wajib mengunggah sejumlah surat pernyataan dari lurah, tempat bekerja, dan keterangan sehat.
Harus dipastikan kebenaran materiil seluruh persyaratan itu, bukan didapatkan dipasar cinde.
Benar bahwa di 12 titik pemeriksaan surat izin itu ada alat untuk memindai kode. Cara itu dipakai untuk mendeteksi surat yang ditunjukkan asli atau palsu. Pada titik itulah dibutuhkan aparat yang berintegritas, tidak mau untuk diajak kong kalingkong.
Publik sangat meminta agar pemerintah serius, sangat serius, membatasi arus masuk pasca Lebaran. Kepentingannya ialah jangan sampai mereka yang baru kembali dari mudik itu justru membawa persoalan baru kepada tetangga mereka.
Komitmen untuk melarang arus balik harus dilihat sebagai bagian dari kepeberpihakan pemerintah terhadap mayoritas orang yang patuh Lebaran di rumah.
Karena itu, mengelola arus balik jangan terbolak-balik, tegakkan regulasi sesuai garis lurus.
Kantor Berita Sidik Kasus Sumsel
Komentar