JAKARTA – JKN.
Ketua Indonesia Fight Corruption Intan Sari GenyJakarta – Bosan dengan pemberitaan kepala daerah yang tertangkap OTT lagi oleh KPK sehingga tidak membuat efek jera untuk para koruptor do negeri ini.
Seperti banyak diberitakan, pada Rabu (10/7/2019) KPK melancarkan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Kepri Nurdin Basirun. Nurdin bukan pertama yang berhasil dijerat KPK. Sebelumnya sudah banyak sekali kepala daerah yang telah dijebloskan ke penjara 12/7.
Bahkan, untuk setingkat gubernur saja sudah belasan yang terjerat kasus dugaan korupsi baik oleh KPK maupun lembaga hukum lain. Dari Abdullah Puteh (Gubernur Nangroe Aceh Darussalam), Gatot Pujo Nugroho (Gubernur Sumatera Utara), Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Zumi Zola (Gubernur Jambi) hingga Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh). Bahkan, ada tiga gubernur Riau yang ditangkap KPK, yakni Annas Maamun, Rusli Zainal, dan Saleh Djasit.
Belum lagi setingkat wali kota/bupati yang terjerat kasus korupsi. Jumlahnya puluhan. Bahkan, masyarakat tampaknya melihat OTT yang dilakukan KPK ini sudah bukan berita yang sakral. Karena hampir tiap dua mingguan atau setidaknya tiap bulan, ada saja kepala daerah yang digelandang ke Gedung KPK untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Disamping itu Ketua Indonesia Fight Corruption Intan Dadi Geny Katakan ” Kebayakan Kepala Daerah itu mental suap sehingga slogan Anti Korupsi yang di suarakan hanyalah fatamorgana yang ada adalah memperkaya diri sehingga Kepada Daerah memeras Pengusaha dan Pejabatnya dan itu sudah biasa hampir di setiap daerah. Solusi hanya satu yaitu Hukum Mati Koruptor sehingga pasti ada efek jera dan pasti akan mengurangi tingkat korupsi di Indonesia ujarnya …
Pesan yang bisa ditangkap dari fenomena ini adalah betapa penegakan hukum kasus korupsi tidak membuat para kepala daerah takut untuk “bermain” uang haram. Apakah korupsi memang sudah menjadi budaya sehingga sangat sulit dihilangkan? Bisa jadi begitu.
Bahkan, banyak kalangan menilai bisa jadi para kepala daerah yang tertangkap tersebut karena mengalami nasib apes saja. Yang lain, tunggu waktu apesnya saja. Begitu guyonan yang berkembang di masyarakat. Para kepala daerah yang belum tertangkap? Mereka “kucing-kucingan” dengan para penegak hukum bagaimana agar aksinya bisa aman.
Kedua, biaya politik yang ditanggung seseorang untuk menjadi kepala daerah sangat tinggi. Ada yang menyebut untuk mencalonkan gubernur seseorang harus menyiapkan dana sedikitnya Rp350 miliar. Tentu ini tidak sebanding dengan gaji yang diterima jika mereka terpilih.
Terkait biaya politik, tentu juga harus dicarikan solusinya dengan memangkas biaya politik tersebut. Tujuannya agar para kepala daerah bisa fokus bekerja melayani masyarakat, bukan lagi memikirkan bagaimana mengeruk harta untuk mengembalikan biaya politiknya. Hal paling penting adalah bagaimana menumbuhkan rasa takut korupsi dalam diri setiap pejabat dengan pendidikan antikorupsi dan agama sejak dini. (Rony).
Komentar