Ketika Wak Mus Jatuh Cinta

Di atas panggung, seorang penyanyi pria (Separuh Baya), sedang menyanyikan lagunya almarhum Meggy Z dengan suara sedikit fals, dan sesekali tidak sesuai dengan irama musik organ tunggal yang mengiringinya.

…kubawakan segenggam cinta
namun kau meminta diriku
membawakan bulan ke pangkuanmu

jatuh bangun aku mencintai
namun dirimu tak mau mengerti

kubawakan segelas air
namun kau meminta lautan
tak sanggup diriku sungguh tak sanggup…

Meskipun demikian, bagi Wak Mus, salah seorang penonton yang duduk di salah sudut arena pertunjukan organ tunggal itu, sepertinya begitu menghayati lagu yang dibawakan penyanyi yang hanya memakai sendal jepit murahan, bercelana cingkrang, kaos oblong bergambar tengkorak dan bertuliskan PLN, dan rambut cepak ala punk itu, dengan sepenuh perasaannya. Seakan penyanyi di atas panggung itu sungguh-sungguh telah mewakili perasaan hatinya.

Sehingga pemilik warung yang berada di depan Wak Mus pun melongo melihat Wak Mus yang ikut bersenandung dengan mata terpejam, dan seakan sudah begitu jauh terhanyut oleh banjir bandang. Eits, salah! Maksudnya oleh lagu tersebut sehingga tampaknya sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekitar.

Wak Mus, lelaki separuh baya (Itu), beberapa tahun belakangan ini sedang tergila-gila kepada seorang janda yang beberapa tahun lalu ditinggal masuk penjara oleh suaminya. Rita, demikian orang-orang di Dusun Talang Tengah biasa memanggil nama janda yang memiliki nama lengkap Rita Agustina itu telah membuat Wak Mus menjadi seorang imsomnia, dan ibarat kata lupa makan lupa minum (Lho di depannya sekarang ini kan ada segelas kopi hitam yang isinya tinggal separonya lagi).

Sebagai pria yang sudah karatan, karena hampir tiga tahun bercerai dengan istri yang dinikahinya saat masih perjaka, sampai memperoleh keturunan lima orang anak, tetapi terpaksa Wak Mus menjatuhkan talak tiga sekaligus gara-gara istrinya selingkuh dengan sopir dum truk yang biasa mengangkut tanah dari tambang ilegal yang ada sekitar kampungnya.

Ketika tahu Rita pemilik warung langganannya menjanda, Wak Mus pun kembali berniat untuk membangun rumah tangga yang telah hancur berantakan itu. Dengan Rita, janda beranak dua yang jadi pilihannya, tentu saja.

Ihwal Wak Mus terpikat oleh janda pemilik warung di depan sebuah bengkel elektronik itu, sebenarnya suatu hal yang tidak disengaja pada mulanya. Setiap dirinya berbelanja ke warung, terutama untuk membeli rokok ketengan kesukaannya, seringakali ada teman sekampungnya yang kebetulan bertemu di warung Rita dan menggoda mereka berdua.

“Wah, duda ketemu janda. Bisa-bisa akan berjodoh juga,” celetuk Hendra sang montir elektronik.

Mendengar seloroh orang-orang, Wak Mus pada mulanya hanya tertawa saja. Sementara Rita sama sekali tidak menanggapinya. Rita seolah tidak mendengar omongan orang-orang di Desa bekas sarang Partai Komunis Indonesia itu. Dirinya malah sibuk melayani orang-orang yang berbelanja,

Bagaimana pun Wak Mus sadar diri. Antara dirinya dengan Rita ibarat bumi dan langit. Keadaan Wak Mus yang kesehariannya hanyalah sebagai penganguran, merasa tak sebanding dengan Rita yang punya warung di kampungnya.

Selain itu, Rita pun termasuk orang kaya yang memiliki beberapa hektar sawah dan ladang. Baik warisan dari orang tuanya maupun hasil usaha bersama mantan suaminya.

Begitu juga dengan rupa dan penampilan dirinya, Wak Mus merasa betapa bagaikan Astrajingga, itu tuh anak Lurah Semar Badranaya dalam cerita wayang golek yang sering ditontonnya dengan Dewi Subadra istrinya Arjuna saja laiknya.

Hanya saja entah kenapa, entah karena begitu seringnya teman sekampungnya menggoda dirinya, entah memang karena hati kecilnya Wak Mus sendiri lama-lama menjadi terusik juga saking seringnya bertemu dengan Rita, tokh tumbuhnya rasa cinta karena seringnya bersua antara keduanya, bisa jadi berlaku juga dalam diri Wak Mus pada ahirnya.

Betapa Wak Mus merasakan sikap Rita yang selalu ramah terhadap dirinya setiap kali berbelanja di warungnya, begitu tulus, dan tidak pernah merasa diri sebagai perempuan yang memiliki wajah rupawan maupun sebagai orang kaya sama sekali. Bahkan Wak Mus merasakan Rita menganggap dirinya sebagai seorang manusia yang sepatutnya memiliki harga diri.

Setiap kali Rita menyerahkan barang belanjaan kepada dirinya, selalu saja dibarengi senyum dan tatap mata yang ramah. Terlebih lagi apabila kebetulan Wak Mus hendak berbelanja, dan kebetulan Rita baru pulang berbelanja dari pasar Plaju, sementara barang-barang belanjaannya masih bertumpuk di pinggir jalan, dengan senang hati Wak Mus pun membantu mengangkati karung maupun kardus besar untuk dipindahkan ke dalam warung, Rita selalu saja mengucapkan, “Maaf sudah merepotkan. Dan terima kasih banyak atas bantuannya.”

Hanya saja setiap kali Rita akan memberikan uang alakadarnya, maupun makanan, atawa rokok sebagai bentuk balas jasa atas bantuannya, Wak Mus selalu menolaknya.

“Hanya begitu saja, kenapa mesti diberi upah segala. Saling menolong dengan sesama adalah kewajiban setiap orang bukan?” Begitu kata Wak Mus setiap menolak pemberian Rita kepada dirinya.

Karena memang Rita pun tahu kalau Wak Mus setiap harinya tidak bekerja, maka ia pun tidak sungkan-sungkan lagi untuk meminta Wak Mus untuk membantunya hampir setiap hari.

Baik di rumah maupun di warung. Dengan senang hati Wak Mus pun menerima permintaan Rita. Dan meskipun awalnya Wak Mus selalu menolak upah atas pekerjaannya tersebut, namun karena Rita terus memaksanya, tokh ahirnya diterima juga. Terlebih lagi Rita selalu mengancam Wak Mus, kalau tidak mau menerima upah pemberiannya, maka Rita tidak akan menyuruh Wak Mus lagi.

Selain takut Rita benar-benar tidak akan meyuruhnya lagi, Wak Mus pun berfikir kalau Rita akan menyangka dirinya ada apa-apa terhadap janda muda itu. Meskipun memang ada apa-apa, tapi tetap saja Wak Mus ketika itu tidak ingin Rita mengetahuinya. Wak Mus takut Rita akan murka. Bagaimana jadinya kalau sampai begitu. Bisa kiamat aku, begitu kata hati Wak Mus.

Terlebih lagi sesungguhnyalah ia pun membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan untuk menafkahi anak-anaknya yang diurus bekas istrinya selama ini.

Perhatian Rita terhadap Wak Mus pun kian hari semakin bertambah juga. Setelah mengetahui Wak Mus tanpa diminta pun selalu saja mengerjakan hal-hal yang seharusnya dikerjakan oleh seorang pria.

Misalnya saja menjaga saluran air yang mengairi sawah Rita semalam suntuk jika kebetulan sedang kekurangan air seperti di musim kemarau. Atau juga membetulkan dermaga pematang kolam yang longsor, karena kebetulan longsornya pematang itu di malam hari, dan Rita tidak mengetahuinya. Dan kalau pun mengetahuinya mana sempat untuk mengurusnya.

Karena ia sibuk dengan warungnya. Maka Wak Mus selalu saja mengerjakannya tanpa diminta tolong. Oleh karena itu, Rita jika tahu Wak Mus telah mengerjakan sesuatu, ia pun selalu mengirim makanan ke rumah Wak Mus. Sebagai tanda terima kasih, tentu saja.

Sikap Rita yang demikian itu, bagi Wak Mus merupakan tanda-tanda jika janda muda bahenol itu menaruh perhatian terhadap dirinya. Hanya saja Wak Mus pun mengira, Rita pun sama dengan dirinya. Tak kuasa untuk mengungkapkan segalarasa yang ada di hatinya.

Penyanyi di atas panggung sudah selesai menyanyikan lagu Jatuh Bangun-nya, dan sudah diganti oleh penyanyi wanita. Tetapi Wak Mus masih tetap saja memejamkan matanya, sambil menyenandungkan lagu dangdut yang dipopulerkan almarhum Meggy Z itu.

Sementara di dalam hatinya, Wak Mus seakan menyesali dirinya yang telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.

“Andaikan saja Emak dan Abah masih ada, mungkin Rita akan segera dilamar oleh mereka. seperti dulu, saat aku akan menikah dengan emaknya anak-anak…” celoteh Wak Mus didalam hati.***

Tim Kreatif Kantor Berita Sidik Kasus Sumatera Selatan

Komentar