Dari Sulawesi, orang Mandar berlayar ke ujung timur Pulau Jawa. Membentuk Kampung Mandar yang menjadi titik penting pelayaran di masa lalu.
Oleh Andri Setiawan
Suku Bugis Mandar, seperti para tetangganya, Bugis, Makassar, dan Bajo, memiliki tradisi sebagai orang laut yang hebat. Mereka lihai sebagai nelayan dan penjelajah laut yang berlabuh di berbagai pesisir Nusantara. Kampung-kampung suku bugis Mandar kemudian muncul di luar Sulawesi. Salah satunya di Banyuwangi.
Pembukaan :
Pada masa kolonial, Banyuwangi memiliki jalan bernama Boomstraat. Jalan sepanjang satu kilometer itu menghubungkan alun-alun di pusat kota di ujung barat dengan pelabuhan di ujung timur. Jalan ini menjadi salah satu ciri kota pelabuhan di Pulau Jawa seperti Banyuwangi.
Menurut Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe, rumah-rumah Eropa dibangun di sepanjang Boomstraat. Toko serba ada yang menjual kartu pos bergambar Banyuwangi juga didirikan di jalan ini. Terdapat pula kampung-kampung nelayan seperti Kampung Melayu dan Kampung Mandar.
“Dahulu, di sepanjang Boomstraat ini banyak terdapat permukiman nelayan dari luar, misalnya Kampung Melayu tersebut dan Kampung Mandar (orang Sulawesi) yang terletak sekitar 500 meter ke arah lurus sebelah kiri jalan,” tulis Johannes Raaf
Kampung Mandar, seperti namanya, merupakan permukiman orang-orang Suku Bugis Mandar yang datang dari Sulawesi bagian barat. Mereka mulai berdatangan ke Banyuwangi, yang dulu disebut Blambangan, sejak abad ke-18 dan terus berlangsung hingga abad ke-19. Tujuan utamanya untuk berdagang.
Selain berasal dari kampung halaman mereka, orang-orang Suku Bugis Mandar di Banyuwangi berasal dari orang Mandar yang telah bermigrasi ke berbagai daerah. Beberapa di antaranya adalah mereka yang sebelumnya pindah ke pulau-pulau di Sulawesi bagian selatan seperti Pulau Baranglompo.
“Dari Pulau Baranglompo ini, selanjutnya banyak orang Mandar yang pindah ke Pasuruan, Panarukan, Banyuwangi,” tulis Mukhlis dkk dalam Persepsi Sejarah Kawasan Pantai.
Kawasan Penting
Suku Bugis Mandar awalnya mendiami pesisir Ulupampang, yang sekarang bernama Muncar, bersama berbagai komunitas pendatang lainnya seperti Bugis, Melayu, Tionghoa, dan Arab. Mereka memainkan peranan penting dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan. Bahkan terlibat dalam perlawanan Blambangan melawan Belanda. Wijkenstelsel, kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengharuskan permukiman dipisah berdasarkan etnis, membuat mereka harus pindah.
Menurut Lisa Dwi Wulandari dan Chairul Maulidi dalam Topologi Lanskap Pesisir Nusantara: Pesisir Jawa, karena bermata pencaharian sebagai nelayan, orang-orang suku Bugis Mandar pindah ke pesisir Boom dan membentuk Kampung Mandar hingga sampai sekarang.
Di Kampung Mandar, mereka membangun rumah panggung sebagaimana rumah orang Suku Bugis Mandar di kampung halaman mereka di Sulawesi. Tiang-tiang yang menyangga rumah panggung berfungsi untuk menghindari banjir ketika air laut sedang pasang.
Dalam perkembangannya, ketika tanggul-tanggul penahan air laut dibangun, kolong-kolong rumah panggung ditutup. Dinding bata dibangun di bagian bawah dan menyatu dengan bangunan kayu di atasnya.
Wilayah Kampung Mandar di Banyuwangi meliputi pesisir yang mengelilingi Teluk Boom. Di tengahnya terdapat sebuah pulau kecil. Wilayah ini secara administratif merupakan satu kelurahan sendiri yakni Kelurahan Kampung Mandar.
“Teluk Boom yang ada di timur kota Banyuwangi merupakan kawasan teritorial penting, sebagai salah satu simpul pelayaran yang terhubung ke Sulawesi dan Bali,” sebut Wulandari dan Maulidi.
Sebelum pelabuhan Ketapang dibangun, dermaga Teluk Boom terkenal sebagai penghubung Jawa dan Bali. Pada masa kolonial, pengaturan dan pengelolaan Teluk Boom dipercayakan kepada seorang tokoh lokal dari suku Mandar yang bergelar Datuk Kapiten.
Tradisi Khas
Kampung Mandar hari ini tidak hanya didiami orang-orang Mandar melainkan juga Jawa, Madura, Osing, sedikit keturunan Tionghoa dan Arab. Sebagian besar bekerja sebagai pengusaha skala kecil, nelayan, dan buruh. Namun tradisi dan kebudayaan khas Mandar yang diwariskan nenek moyang mereka masih dijalankan, seperti tradisi saulak, manten kurung, dan hadrah angguk.
“Tradisi saulak adalah upacara pra-nikah, sebagai bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang, berkumpul bersama keluarga besar, dan memohon keselamatan. Kembang telon selalu ada di setiap upacara tradisi Mandar, yang di akhir acara kembang dilarung ke laut,” tulis Wulandari dan Maulidi.
Di Kampung Mandar, kita akan menjumpai orang-orang berjualan garek atau cacing tambang sebagai umpan memancing. Pantai Boom yang kini tengah dikembangkan pemerintah turut membangun kembali masyarakat Kampung Mandar. Mereka mendirikan warung-warung yang menjual ikan bakar dan menyewakan kuda tunggangan untuk menyusuri pantai.
Lanskap Gunung Agung Bali menjadi latar utama pemandangan Pantai Boom yang menawan. Berbagai festival digelar di pantai berpasir hitam ini seperti Beach Jazz Festival, Gandrung Sewu, dan Fish Market Festival.
Mandar Fish Market Festival digelar untuk mempromosikan potensi perikanan ekaligus mengangkat kawasan nelayan Kampung Mandar sebagai salah satu ekowisata bahari. Mandar Fish Market Festival ini masuk dalam agenda tahunan Banyuwangi Festival.* ( Dikutib dari historia.id )
Publikasi : Redaksi sidikkasus
Komentar