Kajian KPK : Napi Koruptor Bukan Penyebab Kapasitas Berlebih Di Lapas

Berita Sidikkasus.co.id

Jakarta –  Kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai Tata Kelola Sistem Pemasyarakatan bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam rencana mengurangi kapasitas lembaga pemasyarakatan untuk mencegah penyebaran virus Corona-19 di Lapas.

KPK telah menyarankan urutan prioritas dalam pembebasan narapidana untuk mengurangi kapasitas lapas.

Kasatgas Direktorat Litbang KPK Niken Ariati mengatakan, salah satu rekomendasi dalam kajian KPK adalah memprioritaskan pembebasan narapidana yang sudah melebihi masa tahanan, tahanan narkoba yang sudah melewati dua per tiga masa tahanan dan tahanan anak dan lansia. “Tetapi itu semua harus melalui proses seleksi di lapas masing-masing,” jelasnya.

Menurut Niken, saat ini jumlah narapidana korupsi sekitar 5000-an orang. “Jumlah ini tidak menyebabkan over capacity di lapas,” katanya. Apalagi, lanjut dia, napi korupsi tidak berada dalam satu sel yang sama dengan napi lain, mereka pun ditempatkan di sel secara perorangan seperti di Lapas kelas 1 Sukamiskin, Bandung.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pemerintah berencana mencegah menyebaran covid-19 di dalam lapas. Salah satu cara yang akan dilakukan adalah membebaskan narapidana dari lapas yang sudah melebihi kapasitas. Kementerian Hukum dan HAM bahkan sudah mengeluarkan  Peraturan Menkumham Nomor 10 tahun 2010 dan Keputusan Kemenkumham No.19/PK/01/04/2020 untuk mengeluarkan sejumlah narapidana.

Dalam Kajian Tata Kelola Sistem Pemasyarakatan yang disusun oleh Direktorat Litbang KPK pada tahun 2018, KPK telah menjabarkan 5 temuan yang salah satunya adalah diistimewakannya napi korupsi yang ditempatkan di Lapas Umum. Dalam kajian tersebut, tim KPK merekomendasikan pemindahan napi korupsi ke Lapas Max Security di Pulau Nusakambangan.

Tim peneliti KPK memetakan beberapa risiko jika napi korupsi tetap ditempatkan di lapas umum seperti risiko suap terkait izin-izin yang diberikan oleh Kalapas kepada napi korupsi, risiko suap terkait jual beli fasilitas di dalam sel, lemahnya pengendalian/pengawasan dalam proses kunjungan baik pihak keluarga maupun pihak lain terlebih menyangkut high profile visitor, serta lemahnya mekanisme control di lapas umum menjadi celah masuknya contraban (alat komunikasi, uang tunai dan sebagainya).

Menindaklanjuti kajian tersebut, pada tahun 2019 KPK telah melakukan koordinasi dan supervisi pelaksanaan rekomendasi. 1 dari 19 rekomendasi yang disusun KPK dari kajian tersebut telah dilaksanakan yakni Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM bersama Aparat Penegak Hukum menyepakati SOP bersama terkait pengembalian tahanan. SOP ini disepakati guna menyelesaikan permasalahan overstay tahanan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 12.4 Milyar/Bulan.

Sementara untuk tindak lanjut dari rekomendasi pemindahan napi korupsi, beberapa aksi telah dilakukan KPK dan pihak terkait seperti perencanaan pembangunan poliklinik di Nusakambangan, dibukanya akses monitoring dalam Lapas bagi KPK dan aparat penegak hukum lainnya terhadap narapidana maupun tahanan tipikor, telah dilakukan mekanisme assesment sesuai profil risiko bagi napi korupsi di lapas Sukamiskin dan hasilnya telah ditandatangani pada 22 Agustus 2019.

“Tapi saat ini prosesnya mandek, baru dilakukan pemindahan napi korupsi dari Lapas kelas 1 Semarang ke Lapas kelas IIA Permisan saja,” ungkap Niken.

KPK terus mendorong komitmen para pemangku kepentingan seperti dirjen pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM untuk meneruskan proses pemindahan napi korupsi dari lapas umum ke lapas di pulau Nusakambangan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efek jera koruptor dan menghilangkan praktik suap terhadap pengelola lapas yang selama ini terjadi di lapas umum.

*Laporan Monitoring Kajian Tata Kelola Sistem Pemasyarakatan*

Komentar