Oleh: Andi Purnama, S.H., S.T., M.M.
Pengamat Kebijakan Publik dan Pembangunan
Berita Sidikkasus.co.id
Banyuwangi – Jatim. Kunjungan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka ke Banyuwangi seharusnya menjadi momentum penting untuk menunjukkan bahwa daerah ini memiliki lompatan inovasi yang patut dibanggakan, baik di tingkat nasional maupun global. Sayangnya, sajian yang disuguhkan Pemkab Banyuwangi justru berulang pada pola lama, panen tebu, pasar rakyat, dan kampung lobster. Bukan inovasi disruptif, bukan hasil riset anak negeri, bukan pula loncatan teknologi unggulan.
Dengan utang sebesar Rp490 miliar, publik tentu berharap ada capaian yang signifikan, bukan sekadar perayaan panen yang simbolik. Apakah panen tebu dengan rendemen biasa bisa diklaim sebagai capaian strategis? Bagaimana jika panen tersebut berasal dari hasil riset lokal yang berhasil menciptakan batang tebu berdiameter 50 cm, yang menyelesaikan defisit 3 juta ton kebutuhan gula nasional? Kini, tidak ada yang ditampilkan kecuali seremonial yang tak menyentuh akar persoalan.
Begitu juga dengan kampung lobster. Padahal saat ini, hanya Vietnam yang menguasai teknologi pembesaran lobster hingga ukuran 1 kg, padahal benihnya berasal dari perairan Indonesia. Mengapa Banyuwangi tidak memposisikan diri sebagai pionir inovasi perikanan nasional? Jika benar-benar ingin tampil membanggakan, maka ajaklah Wapres melihat hasil riset unggulan lokal, bukan rutinitas yang bahkan tak lagi dilirik generasi muda.
Era sebelumnya, Banyuwangi dikenal karena keberanian inovasinya, salah satunya melalui Mall Pelayanan Publik (MPP). Inovasi ini bahkan menjadi objek studi tiru dari berbagai daerah. Namun kini, fungsi perizinan di MPP justru dilaporkan merosot drastis. Alih-alih digitalisasi yang efisien, justru muncul keluhan dari internal pemerintahan sendiri, bahwa sistem digital justru memperumit proses pelayanan. Studi banding ke mana-mana, tapi hasilnya stagnan.
Di sisi lain, tata ruang makin tidak partisipatif. Ploting lokasi pembangunan tanpa melibatkan masyarakat luas, khususnya petani dan pemilik lahan, menimbulkan keresahan dan menghambat produktivitas. Banyak kebijakan terasa elitis, jauh dari kebutuhan riil masyarakat.
Dengan utang daerah Bu massal, proyek inovasi strategis, dan nilai tambah ekonomi. Janji politik tentang kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat masih terasa hampa. Apakah tidak lebih tepat jika Wapres diajak meninjau kawasan tambang Tumpang Pitu, yang justru merusak tatanan lingkungan, tapi tak memberi dampak signifikan terhadap pengurangan pengangguran dan eksodus TKI?.
Setiap tahun, lebih dari 6.000 perceraian terjadi di Banyuwangi, mayoritas disebabkan masalah ekonomi. Bukankah ini cukup menjadi cermin bahwa masyarakat belum sepenuhnya merasakan manfaat dari program pembangunan?.
Gerak seorang Wakil Presiden adalah gerakan mahal, baik dari sisi anggaran maupun momentum strategis. Maka, pemimpin daerah seharusnya mampu menyajikan capaian kelas dunia yang berbasis riset dan teknologi. Bukan hanya panen simbolik yang tidak mencerminkan terobosan.
Kunjungan pejabat tinggi negara seharusnya digunakan untuk menunjukkan bahwa putra-putri Blambangan mampu menembus batas pengetahuan global. Misalnya, panen tebu berdiameter 50 cm hasil riset lokal, atau lobster berteknologi pembesaran mandiri dari benih lokal. Itu yang membanggakan, bukan sekadar memanen rumput odot.
Banyuwangi tidak kekurangan sumber daya, tapi tampaknya mulai kehabisan visi inovatif. Jika kunjungan Wapres hanya disambut dengan tontonan seremonial yang biasa-biasa saja, maka publik berhak bertanya: kemana arah kepemimpinan inovatif Banyuwangi hari ini?.
Semoga, pada kunjungan tamu negara berikutnya, yang disajikan bukan panen biasa, tapi panen hasil riset yang luar biasa.***
Komentar