HUMAS UNTAG SURABAYA GELAR MEDIA INTERVIEW ” RADIKALISME DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI

SURABAYA, JKN – Radikalisme dan budaya menjadi dua momok yang tidak dapat dipisahkan, karena perbedaan budaya sering menjadi pemicu langkah ekstrim dan tindak kekerasan. Skripsi berjudul “Radikalisme dalam Konteks Budaya pada Remaja di Wilayah Arek, Tapal Kuda dan Mataraman” mengantarkan Liyana Trisna Hutari mendapatkan predikat Skripsi Menarik.

Calon wisudawan Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya ini mendapatkan fakta bahwa usia pelaku radikalisme semakin muda dan menyasar pada remaja. Berdasarkan riset dari 110 pelaku tindakan terorisme dari data BNPT, usia 31-40 tahun sebanyak 29,1%, rentang usia 21-30 tahun sebanyak 47,3%, rentang dan yang berusia dibawah 21 tahun ada 11,8%. Seperti halnya aksi bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela pada Mei 2017 yang dilakukan oleh remaja berusia 18 tahun dan 16 tahun.

“Remaja Indonesia saat ini rentan dengan aksi radikalisme karena mereka sedang mencari pembenaran dan dapat memuaskan pertanyaan mereka” Ucap Liyana pada acara media interview(5/9/2018).

“Dalam mencari pembenaran inilah remaja menjalin hubungan baru dengan individu lainnya dan memanfatkan budaya untuk memperluas pertemanan dan mempelajarinya” Lanjutnya
“Sayangnya di antara mereka kurang mampu memilah dan langsung menerima berbagai doktrinasi dalam budaya yang memicu radikalisme beragama” Lanjutnya lagi
Dalam penelitiannya Liyana ingin mengetahui perbedaan potensi radikalisme di wilayah Arek, Tapal Kuda dan Mataraman dalam kaitannya dengan budaya.

Penelitian dilakukan pada 600 siswa dari SMK Dharma Bahari Surabaya (Arek), SMK Negeri 5 Jember (Tapal Kuda), dan MAN 2 Tulungagung (Mataraman). Hasilnya terdapat korelasi positif yang signifikan antara variabel budaya dengan potensi radikalisme di wilayah Arek, Tapal Kuda dan Mataraman.

Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh remaja Siswa SMA maka potensi radikalisme juga makin tinggi, sebaliknya semakin rendah nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh remaja Siswa SMA maka potensi radikalisme juga makin rendah.

“Saya berharap penelitian ini dapat dijadikan acuan pencegahan aksi radikalisme pada remaja terutama di wilayah Arek, Tapal Kuda dan Mataraman” Pungkas Liyana.(SAP/Humas Untag)

Komentar