Hakikat (Ibadah) Kurban

Setiap Hari Raya Idul Adha hingga hari Tasyrik, seluruh umat Islam yang mampu akan melaksanakan ibadah kurban.

Dalam perspektif ulama Fiqh (Fuqoha), kurban memiliki makna ritual dengan menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan pada waktu tertentu.

Ibadah kurban harus dengan hewan kurban (Kambing, Sapi, dan Unta), dan tidak boleh diganti dengan yang lainnya, seperti uang atau beras. Namun demikian, mereka sepakat bahwa hukum berkurban hanyalah Sunat Muakkad (Sangat Dianjurkan) bagi yang mampu, alias tidak wajib.

Pelaksanaan ibadah kurban, jika ditelisik secara mendalam, memiliki dua dimensi makna yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri paling puncak dan dialog dengan Tuhan dalam menangkap nilai dan sifat-sifat ketuhanan.

Sementara, secara horizontal, kurban menuntut manusia untuk dapat memetik nilai-nilai luhur kepedulian terhadap sesama dan merealisasikan ke dalam kehidupan nyata.

Ibadah Kurban dalam makna dimensi vertikal tecermin pada keikhlasan Shahibul Qurban (Orang Yang Berkurban) dalam memberikan daging hewan kurban tanpa mengharap imbalan apapun di dunia ini.

Keikhlasan ini tidak cukup hanya bermodal niat tetapi juga realisasi dalam bentuk hewan kurban yang diharuskan tidak boleh cacat.

Artinya, keikhlasan dalam berkurban di sini tidak karena mengikhlaskan barang yang sudah tiada manfaat baginya tetapi mengikhlaskan harta yang sebenarnya masih dicintainya (QS Ali Imran/3: 92). Hanya saja karena kecintaan kepada Tuhan lebih besar melebihi dunia dan seisinya.

Dalam dimensi horizontal, kurban mengajarkan manusia untuk saling berbagi, jangan sampai sifat-sifat buruk seperti pelit, kikir, tamak, serakah, dan loba terus menjadi sifat dalam berkehidupan sosial.

Sifat-sifat tersebut harus diganti dengan sifat dermawan, peduli, saling menolong, dan berkasih sayang terhadap orang lain. Sifat-sifat rela berkurban untuk kelangsungan hidup bersama menjadi bagian penting dari pendidikan ibadah kurban.

Sejatinya ibadah kurban adalah perintah Allah SWT untuk mengorbankan dan menyembelih sifat egois, mementingkan diri sendiri, rakus dan serakah yang diikuti dengan kecintaan kepada Allah SWT yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kerja-kerja sosial.

Ibadah Kurban mengajarkan kita untuk menolak segala bentuk egoisme dan keserakahan. Karena kedua sifat itu hanya akan merampas hak dan kepentingan kaum dhuafa (lemah) dan mustadhafin (dilemahkan).

Di sisi lain ibadah Kurban dapat menjadi solusi terhadap berbagai bentuk ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang masih mewarnai negeri ini.

Perintah berkurban bagi mereka yang diberi kelebihan rezeki dan membagikan dagingnya untuk kaum miskin, mengandung pesan penting bahwa kita bisa dekat dengan Allah SWT ketika kita bisa mendekati hambanya yang membutuhkan.

Semangat menyembelih hewan kurban yang dagingnya dibagikan kepada kaum fakir dan miskin, jelas dimaksudkan agar terjadi solidaritas dan tolong-menolong antar anggota masyarakat.

Yang kaya menolong yang miskin dan begitu juga sebaliknya. Sikap solidaritas ini diharapkan akan mengurangi kesenjangan sosial dan menciptakan suasana aman bagi pemberdayaan masyarakat.

Dalam konteks kekinian, substansi kurban dapat direalisasikan dengan memberikan bantuan kepada para korban bencana seperti korban banjir, gempa bumi dan korban bencana alam lainnya.

Memberikan sumbangan dalam bentuk apapun, sesuai dengan kemampuan masing-masing setiap kita, akan sangat besar manfaatnya. Selain itu, umat Islam perlu mengorbankan sebagian hartanya untuk para fakir dan miskin serta pengemis jalanan.

Karena tak sedikit dari mereka yang tidak memiliki tempat tinggal layak huni. Kemiskinan telah memaksa mereka untuk tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit, serta harus meminta-minta demi sesuap nasi.

Untuk itu, perlu pengorbanan dari para aghniya (Orang Kaya) terhadap mereka yang membutuhkan. Karena dalam harta orang kaya itu ada hak kaum yang membutuhkan (QS Az-Zariat/51: 19, lihat juga QS al-Maarij/70: 24-25).

Nah, di sinilah substansi kurban mesti diterapkan. Jangan sampai dalam agama Islam, terdapat ajaran berkurban dan diikuti banyak kaum muslimin, namun mereka tidak bisa memetik makna di dalamnya.

Jika dalam pelaksanaan hari raya kurban banyak kaum muslimin yang menjadi Shahibul Qurban hingga merumahnya daging di setiap masjid, maka semestinya bantuan juga harus diberikan kepada para fakir miskin dan korban bencana.

Ibarat kurban sebagai latihan, pemberian bantuan kepada fakir miskin dan korban bencana adalah hasil dari latihan yang ada. Kurban adalah salah satu suri teladan sikap bersosial dalam kehidupan nyata.

Dalam berkurban, seorang muslim yang mempunyai kekayaan disunahkan mengikhlaskan sebagian hartanya, dimanfaatkan untuk saudaranya yang miskin. Hanya saja, bentuknya ditentukan sebagaimana dalam syarat dan rukun kurban.

Kita sangat berharap dengan perayaan Idul Adha akan muncul semangat berkurban di masyarakat, apalagi pemerintah. Semangat berkurban ini sangat penting artinya dalam membangun masa depan bangsa dan negara ke arah yang lebih maju, lebih baik dan lebih sejahtera.

Makna utama ibadah kurban yang berupa kesediaan untuk berkorban sebagaimana ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, dapat dijadikan inspirasi bagaimana kita bisa saling berbagi dan memberdayakan sesama umat manusia, terutama mereka yang kurang beruntung.

Pemaknaan seperti inilah yang akan menemukan relevansinya dengan kondisi bangsa kita yang sedang didera banyak derita bencana dan multi krisis di segala sektor; krisis pemerintahan, moral, sosial, ekonomi, edukasi, dan sebagainya. Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 H.

Semoga ibadah kurban kita semua menjadi ibadah yang hakiki baik dalam konteks ritual maupun sosial.

(Herwadi)

Komentar