Berita sidikkasus.co.id
Palembang – Di tengah isu penyebaran wabah Covid-19 yang semakin meluas, para pengusaha retail di Kota Tua (Palembang) mulai kesulitan mendapatkan pasokan gula pasir dari distributor.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Forum Keadilan Rakyat Indonesia (DPP.FKRI) Adenia, mengatakan, salah satu penyebab Kelangkaan gula di Kota Palembang adalah karena masih ada pabrik gula yang menahan stok gula di gudang mereka, bahkan menjurus ke arah kartel.
“Mereka tidak mengeluarkannya dengan 1.001 alasan,” kata Adenia dalam konferensi pers online dari Jakarta, Minggu, (26/4) malam waktu dini hari.
Walhasil, Adenia menyebut stok gula di toko retail seperti Alfamart hingga Hypermart di Kota Palembang mulai berkurang.
Adenia mencontohkan, ada beberapa perusahaan gula yang ada di Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Selatan. Akan tetapi, harga gula pasir di Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Selatan tetap berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sebesar Rp 12.500 per kilogram.
Namun, salah satu aktivis muda Indonesia ini tidak menjelaskan pabrik mana yang dia maksud. Ia hanya mengatakan keberadaan kartel pabrik gula ini bukanlah rahasia umum di Indonesia.
Dalam beberapa minggu terakhir, gula pasir mulai langka di pasaran dan mengalami kenaikan harga. Pada 10 Maret 2020, harga gula pasir di sejumlah pasar tradisional di Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Selatan naik hingga Rp 20 ribu per kg.
Atas kenaikan ini, Kemendag pun menerbitkan lagi Surat Perizinan Impor (SPI) untuk 550 ribu ton gula. Kebijakan ini menyusul kebijakan sebelumnya yang telah menerbitkan izin impor bagi 438,8 ribu ton gula kristal mentah atau raw sugar. Namun, impor gula ini masih dalam proses pengiriman Sehingga, kondisi di pasaran masih belum banyak berubah.
Kemarin, salah satu toko ritel di Carrefour di Provinsi Lampung, gula pasir sudah tak lagi tersedia. Namun di beberapa toko kelontong, gula pasir curah masih tersedia. Harganya sekitar Rp 5.000 per 250 gram, atau Rp 20 ribu per kg.
Adenia membenarkan, saat ini hanya dua dari enam pelabuhan di Cina yang beroperasi, untuk mendatangkan gula impor. Sesampainya di Indonesia, gula impor pun juga harus diolah terlebih dahulu untuk bisa menjadi gula pasir siap edar. “Jadi masih butuh waktu lagi,” kata Adenia.
Tak hanya itu, Adenia juga mengkritik data antar instansi pemerintah yang tidak akurat. Hasilnya, keputusan impor baru diterbitkan akhir Februari 2019. Sehingga, tidak ada prediksi sama sekali di pemerintah, sebelum akhirnya terjadi kelangkaan gula seperti hari ini.
Sehingga dalam situasi seperti ini, Adenia mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengatakan stok gula di pabrik harus segera disalurkan. Pemerintah, kata dia, harus tegas dalam melakukan penegakan hukum. “Kami pun berusaha agar pasokan ini tidak hilang. Tapi, butuh juga kepedulian dari pelaku usaha untuk tidak menahan dan menimbun,” ujarnya.
Wartawan mencoba mengkonfirmasi keterangan dari Adenia ini kepada Asosiasi Gula Indonesia (AGI). Asosiasi ini beranggotakan pabrik gula milik BUMN, termasuk PT Perkebunan Nusantara, maupun milik swasta. Total, ada sembilan BUMN dengan 51 pabrik gula dan pihak swasta dengan 10 pabrik gula. Meski demikian, tidak semua pabrik gula swasta menjadi anggota AGI.
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat mengatakan perjalanan stok gula ini sebenarnya cukup panjang. Dimulai dari Oktober 2019. Saat itu, kata Budi, rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan sudah ada rekomendasi impor gula sebesar 495 ribu ton. “Ini untuk antisipasi konsumsi gula di luar masa giling pabrik gula,” kata dia.
Lalu pada 9 Maret 2020, kata Budi, pabrikan gula juga diundang oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk mengklarifikasi stok di masing-masing pabrik gula dan realisasi impornya. Dari data yang ada, lima importir yang mendapat jatah impor gula pada 2019 telah merealisasikan 100 persen dengan jumlah 252.630 ton.
Lalu pada 2020, baru satu dari delapan importir yang merealisasikan impor gula. Realisasi impor baru 30 ribu ton, dari 216.172 ton Persetujuan Impor (PI) yang diterbitkan Kemendag. Namun, sebagian besar dari perusahaan ini baru mendapat PI dari Kemendag pada 6 Maret 2020. Sementara, satu importir yang sudah mendatangkan gula impor mendapat PI sejak 20 Februari 2020.
Meski demikian, Budi menyebut Kementerian Perdagangan biasanya bisa mengundang para pedagang gula yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Gula Indonesia. Sehingga, kata Budi, apabila impor datang tepat waktu dan para pedagang melepas semua stok, maka seharusnya tidak sampai ada kesulitan gula di pasaran. “Memang kunci stok bukan di pabrik gula, tapi di distributor atau pedagang, itu yang susah dideteksi,” kata Budi.
Selain itu, Budi pun mengatakan penimbunan biasanya tidak terjadi di pabrik. Sebab, pabrik memiliki kewajiban untuk melaporkan secara rutin stok yang mereka miliki. “Kalaupun ada di pabrik tapi milik pedagang yang belum diambil, yang masih di gudang pabrik gula, mereka (pedagang) kalau terlambat ya kena denda,” kata Budi.
Sementara itu, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan, Very Anggrijono belum banyak berkomentar soal indikasi penimbunan stok gula di pabrik ini. Termasuk, adanya kabar penimbunan 160 ribu ton gula pasir di sebuah gudang di Tasikmalaya, Jawa Barat yang diberitakan sejumlah media online. “Saya cari tahu tentang hal ini,” kata dia.
Reporter : Adeni Andriadi
Komentar