Gerakan Pusat Bantuan Hukum Rumah Bersama Advokat DPC Peradi Bandung Membela Korban Rentenir

BANDUNG, JKN.

Pergulatan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menuntun mereka untuk berjibaku dengan hal-ikhwal ekonomisme. Kebutuhan masyarakat yang sangat besar untuk mendapatkan fresh money mendorong lahirnya sistem kredit. Bahkan lembaga-lembaga kredit berkompetisi menjadi yang paling lunak.

Besarnya kebutuhan masyarakat itu pula yang mendorong kehadiran rentenir. Orang sering menyebut lintah darat. Konsep rente pertama kali dikembangkan oleh pakar ekonomi klasik David Ricardo. Landasan pemikiran David Ricardo justru berawal dari perbedaan tingkat kesuburan tanah milik petani yang terkait dengan perbedaan biaya produksi. Perbedaan dalam tingkat kesuburan tanah berpengaruh pula terhadap sewa tanah. Sejak saat itu segala bentuk eksesif (super normal) yang berbuhubungan dengan struktur pasar barang dan jasa yang mengarah ke monopoli disebut rente.

Pada awal sebutan rente memang jauh dari praktiknya yang sekarang. Rentenir sekarang beroperasi karena tekanan ekonomi yang dialami masyarakat dan kehendak mendapatkan dana segar dengan cara cepat meskipun bunganya sangat tinggi, tak masuk akal, dan banyak yang tidak mengikuti hukum konvensional. Pusat Bantuan Hukum Rumah Bersama Advokat (PBH RBA) DPC Peradi Bandung kali ini bergerak menangani korban rentenir. DPC Peradi Bandung di bawah kepemimpinan Dr. Musa Darwin Pane, S.H., M.H ini berkomitmen agar selaras dengan program DPN tentang pemberian bantuan hukum probono.

Di siang hari terik, di Pengadilan Negeri Klas I-A Kota Bandung sudah berkumpul tim advokasi PBH RBA yang dimotori oleh Asri Vidya Dewi, S.Si., S.H. Bersamanya juga ada advokat-advokat mumpuni seperti Art Tra Gusti, S.H., C.L.A, Dahman Sinaga, S.H, dan Andreas D.L.A. Situmeang, S.H. Tim PBH RBA memberikan pelayanan hukum pada kliennya yang terlilit jebakan hutang rentenir.

“Hari ini (29/2) adalah sidang ke empat dengan agenda pembacaan gugatan dari pihak rentenir (penggugat). Sidang kali ini karena sebelumnya tidak menemukan kesepakatan dalam mediasi. Dari hutang 25 juta, penggugat memintakan dalam gugatannya sebesar 268 juta,” tutur Asri Vidya Dewi.

Kliennya, menurut Asri Vidya Dewi, S.Si., S.H, adalah korban penggusuran yang sedang dalam situasi kesulitan ekonomi, rumah dan hartanya tak tersisa lagi. Dulunya, kliennya adalah seorang wiraswasta yang kreatif dalam usaha kecil-kecilan jasa pengiriman barang. Sejak rumahnya digusur, kliennya tidak punya apa-apa lagi. Sejak itulah dia masuk dalam kubangan hutang di hadapan gurita rentenir. Tidak ada hukum apapun yang membolehkan rentenir, baik hukum konvensional maupun agama. (*)

Sumber: Dr. Musa

Komentar