Founder Yayasan Bantuan Hukum Mitra Society : Paslon AMR Terancam Diskualifikasi Atau PSU Pilkada Taliabu

Berita Sidikkasus.co.id

TALIABU, – Pilkada Serentak 2020, Dari Selisih Suara dan Pelanggaran Menuju Kebenaran Formil dan Substantif.
Pilkada serentak 2020 baru saja usai dihelat. KPU sebagai lembaga yang bertugas dan memiliki kewenangan menetapkan hasil perolehan suara telah memutuskan hasil perolehan suara setiap pasangan calon.

Misalnya di Kabupaten Pulau Taliabu, Paslon Nomor urut 02 Aliong Mus – Ramli (AMR) memiliki persentasi capaian suara tertinggi 52,4% mengalahkan H. Muhaimin Syarif – Syafruddin Mohalisi (MS-SM) pasangan nomor urut 01 dengan persentasi suara 47,6%.

Bukan Pilkada jika putusan langsung diterima oleh pihak yang kalah. Mengingkari bahkan menolak hasil putusan adalah varian dalam proses Pilkada. Untuk itu, maksud artikel sederhana ini ingin menyampaikan pemahaman tentang tahapan Pilkada, bahkan sampai pada pilihan putusan sehingga kita tidak terjebak pada eforia sesaat yang berakhir kekecawaan karena kita berharap dengan diselimuti ketidaktahuan.” dirilis Oleh Sarifudin, M.Si/Syaris Selaku (Founder Yayasan Bantuan Hukum Mitra Society) pada Kamis 17 Desember 2020.

“Memahami Tahapan Pilkada, Pasangan calon yang dinyatakan memperoleh suara terendah dengan tidak menerima hasil Pilkada dan melakukan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bagian dari tahapan Pilkada yang diatur oleh Undang-Undang Pilkada No. 10 Tahun 2016. Jika berkas gugatan diterima maka proses perkara sejatinya baru dimulai.

Merujuk pilkada-pilkada sebelumnya, gugatan ke MK diarahkan pada angka persentase sebagai ambang batas. Kabupaten Pulau Taliabu yang memiliki penduduk dibawah 250 ribu jiwa, masuk dalam kategori ambang batas yang dapat diajukan ke MK dengan selisih perolehan suara paling banyak sebesar 2% dari total suara sah.

Melihat selisih persentasi perolehan suara AMR (52,4%) dengan MS-SM (47,6%), maka ditemukan selisih sebesar 4,8% suara. Apakah dengan selisih sebesar 4,8% suara gugatan MS-SM di MK akan langsung di tolak?

Kebeberan Formil vs Kebenaran Substantif, Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020 menggunakan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 6 Tahun 2020 yang merupakan perbaikan dan penyempurnaan dari PMK No. 5 Tahun 2020.” jelas sapaa syaris dalam rilisnya.

Tamba Syaris, Penyempurnaan PMK No. 6 Tahun 2020 antara lain mengenai;

1). Kewenangan mengakreditasi pemantau pemilu yang dilakukan oleh KPU, sebagaimana diatur dalam Pasal 124 UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) yang sebelumnya dilakukan oleh Bawaslu.

2). Menyoal Penggunaan Pasal 158 (UU Pilkada), dimana pengalaman sebelumnya dari para pengacara yang berperkara dalam sidang penanganan perselisihan hasil pilkada, seringkali memaknai satu norma sesuai dengan posisinya.

Artinya, ketika berada pada posisi Pemohon maka meminta supaya Pasal 158 tidak dipakai, jika berada diposisi Termohon meminta supaya Pasal 158 tetap digunakan, sehingga PMK No. 6 Tahun 2020 menjelaskan bahwa yang berkaitan dengan norma dalam undang-undang tidak lagi ingin dibatasi hanya dengan penentuan persentase terkait perolehan suara seperti pasal 157 selisih 2%, 1,5%, 1% dan 0,5%.

Meskipun itu, PMK No. 6 Tahun 2020 tetap konsisten menggunakan Pasal 158 UU Pilkada dengan tidak mengabaikan substansi perkara, sehingga kemungkinan apakah memenuhi persyaratan untuk dimajukan atau tidak dimajukan sebagai sengketa, tidak seperti pada penanganan-penanganan sengketa pilkada sebelumnya, dimana jika tidak memenuhi syarat perolehan suara dengan selisih 2%, 1,5%, 1% dan 0,5% langsung ditolak atau diselesaikan diawal, tapi kecenderungan penyelesaian Pasal 158 akan terjadi pada akhir perkara.

Artinya, Pasal 158 tetap di patuhi, tetapi harus menggali dulu informasi, mencari bukti-bukti, memperoleh keterangan apakah angka yang ditentukan KPU berdasarkan Pasal 158 itu memang ditentukan sesuai dengan yang sebenarnya.

Karena jika tidak mendengarkan keterangan para pihak dan langsung menentukan Pasal 158 sebagaimana yang ditentukan KPU, maka sebenarnya hukum telah parsial kepada salah satu pihak, sementara Posisi Pemohon, Pihak Terkait berada pada kondisi yang sama.

Secara tegas tujuan dari PMK yang terbaru yang merupakan rujukan penanganan perkara pilkada serentak 2020 adalah untuk mencari kebenaran substantif, bukan hanya sekedar kebenaran formil, bukan angka-angka yang menjadi selisih, tapi pelanggaran yang menimbulkan angka-angka yang telah diputuskan KPU sebagai objek perkara.

Sederhananya, sengketa pilkada harus melalui proses pembuktian informasi dan keterangan pelanggaran untuk menemukan kebenaran substantif, tidak langsung memutuskan perkara dengan melihat selisih ambang batas 2% sebagai kebenaran formil.

Jika bukti substantif menemukan indikasi pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM), maka gugatan dinyatakan diterima dengan kemungkinan putusan Mahkamah antara mendiskualifikasi calon yang digugat atau Pemungutan Suara Ulang (PSU).” pungkasnya. ( Jek)

Komentar