Malam sudah cukup larut saat Pai menyeduh kopi susu jahe sachet untuk kedua kalinya. Di depannya, Dung masih betah mengunyah potongan ketupat sisa Lebaran kemarin. Sesekali sendoknya bergantian masuk ke mulut dan menyelam dalam kuah opor ayam, juga sisa kemarin.
Layar televisi yang mulai bergaris samar menemani mereka dengan film India lawas. Tepat saat itu adegan yang sedang tayang adalah aktris dan aktor utamanya sedang menari dan bernyanyi.
Sesaat Dung merasa ngiler melihat adegan itu sampai dikejutkan suara Pai,
“Jangan dihabiskan semua opor ayamnya, ya. Masih bisa buat sarapan besok.”
Dung mengangguk. Opor ayam pemberian bapak kost itu sudah tiga kali dipanaskan, entah bagaimana rasanya jika dipanaskan untuk keempat kalinya. Tapi ya mau bagaimana lagi?
“Ketupat?”
“Kalau ketupat habiskan saja,” sahut Pai.
“Lah, masak makan ketupat doang?” Dung merengut.
Pai menggelengkan kepala. Teman kost-nya yang satu ini memang tak ada lawan kalau soal ngabisin makanan, tidak peduli dompet mereka sekarang sudah sekarat dan sedang pasang kuda-kuda biar bisa bertahan hidup di Kota Palembang.
Pai bekerja sebagai helper di salah satu toko swalayan dan Dung bekerja sebagai cleaning service di sebuah mal. Keduanya sedang dirumahkan sejak virus Corona merebak di Kota Palembang Pempek.
Kebetulan mereka satu indekost, dan saat ini bertahan hidup dengan cara bekerja serabutan. Mengantar galon, mengecat rumah tetangga, ojek, antar jemput belanjaan dan pekerjaan apapun dilakukan yang penting halal.
Jadi tentu saja kabar pelonggaran PSBB membuat mereka berharap bisa kembali bekerja seperti biasa lagi.
“Bagaimana kabar dari tempat kerja kamu?” tanya Dung.
“Mudah-mudahan satu dua hari ini, Dung. Tadi, Pardik teman yang di bagian logistik bilang bos besar besok mau rapat sama semua supervisor.”
“Mudah-mudahan bisa masuk kerja seperti biasa lagi, ya, bro,” Sahut Dung lalu menunduk sedih. “Saya ini yang masih belum jelas. Belum ada tanda-tanda sama sekali kalau saya akan kembali masuk kerja.”
“Harus optimis, Dung. Kan sebentar lagi udah gak PSBB lagi.”
“Iya sih. Ah, seandainya saja saya jadi Presiden ya, saya tetap bakal bagi-bagi sembako, sekalipun gak PSBB lagi. Untuk meng-cover orang-orang seperti kita ini. Tempat-tempat belanja kan sudah buka lagi, tapi kerjaan belum jelas juga.”
Pai terkekeh.
“Eh, kamu tahu gak, kenapa PSBB-nya disudahin, karena pemerintah udah kehabisan duit, Bro! Bayangin dia mesti kasih makan rakyat se-Indonesia. Itu triliunan loh dananya.”
Dung mengernyitkan kening. “Masa sih negara keabisan duit? Kalau sudah mau abis kan tinggal cetak lagi.”
“Yee, cetak duit juga gak bisa sembarangan kali. Ada syarat dan batas-batasnya. Kalau bisa kayak gitu, pemerintah gak usah ngutang, cetak uang banyak-banyak saja kan?”
Dung mengangguk membenarkan. Diam-diam dia mengagumi otak kawannya yang satu ini. Memang selama ini pergaulannya setingkat lebih tinggi darinya yang hanya level cleaning service saja. Tapi sekalipun ada kesenjangan wawasan, mereka berdua tetap bisa akrab seperti saudara.
Saat itu di layar kaca sedang ada adegan kejar-kejaran antara aktor dan aktris pemeran utama di sebuah taman bunga.
“Eh, gimana kabar si Nia, Pai?”
Nia itu nama kekasih Pai. Mereka sudah hampir dua bulan tidak ketemu, karena Nia sudah keburu pulang kampung sebelum PSBB diterapkan di Kota Palembang.
Pai sedikit terkejut karena Dung tiba-tiba bertanya seperti itu.
“Waduh, kampung Nia ternyata susah sinyal, Dung. SMS dari dia masuk tiga hari yang lalu. Tiba-tiba dia SMS bilang gini, kita jadi kakak adek aja ya. Lebih cocok, daripada jadi pacar. Apalagi sedang jauhan.”
Dung terkejut. “Hah?! Terus kamu jawab apa?”
“Ya, aku bilang baiklah. Yang penting bisa tetap komunikasi dan saling kasih kabar…”
Dung geleng-geleng kepala. Untuk urusan yang lain, si Pai ini memang pandai. Tapi rupanya tidak demikian untuk urusan asmara.
“Eh, Bro, dia sudah punya cowok lain di kampung tuh,”
“Ah, kamu jangan sembarangan. Nia itu cewek paling setia se-Indonesia Raya. Dia itu dinaksir sama kepala gudang loh, tetapi pilihannya tetap saya seorang.”
Dung mengangkat bahunya. “Ya, mudah-mudahan saya salah.”
“Emang iya salah!” timpal Pai lalu berdiri dan beranjak dari situ. “Udah ah, saya sudah ngantuk. Jangan lupa, makanan masukin ke lemari. TV dimatiin.”
“Iya, iya. Ketupatnya masih sepotong lagi nih, tanggung.”
Mereka berdua kost sekamar untuk menghemat biaya. Tapi karena hanya ada satu tempat tidur, mereka bergantian tidur di tempat tidur dan kasur lantai setiap malam. Malam ini giliran Dung yang tidur di atas.
Sebelum tidur, dia mengecek pesan-pesan whatsapp. Ada satu pesan yang membuatnya gembira. Ada orderan seprei dari kampung. Selama ini dia juga coba-coba jadi reseller online menjual baju, seprei, tikar dan barang-barang lain dan ditawarkan ke orang-orang di kampungnya.
Dung pun mengepalkan tangan senang, lalu mencolek Pai di bawah untuk memberi tahu kabar gembira itu.
Dung kembali terkejut, karena ternyata Pai di bawah sedang sesenggukan diatas kasur.
“Kamu kenapa, Pai?”
Pai terdiam lama sebelum buka suara. “Kamu benar, Dung. Ini SMS dari Nia barusan masuk. Minggu depan dia mau nikah sama montir elektronik dikampungnya. Tega banget dia, Dung!”
Suara sesenggukan Pai terdengar makin keras.
Dung pun terdiam. Bingung. Mau tertawa atau mau prihatin.
—
Tim Kreatif Kantor Berita Sidik Kasus Sumatera Selatan (Sumsel).
Komentar