Jakarta – Dunia Pers di Tanah Air kembali dikeruhkan oleh pernyataan-pernyataan tidak simpatik yang dilontarkan Dewan Pers beberapa waktu terakhir ini. Setelah keputusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan Dewan Pers dalam perkara gugatan PMH terhadap Dewan Pers dibatalkan PT DKI Jakarta, serta penolakan majelis hakim banding terhadap eksepsi Dewan Pers, lembaga bentukan puluhan organisasi pers Indonesia itu justru melancarkan berbagai manuver bernuansa premanisme dengan mengintervensi kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah. Hal tersebut sangat disayangkan oleh sejumlah pihak, dan mengharapkan agar Dewan Pers kembali ke khitahnya menjalankan fungsinya sebagai penjaga kebebasan dan kemerdekaan pers.
Menurut Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, ia mengungkapkan keprihatinannya atas ulah Dewan Pers yang menurutnya telah bermutasi menjadi lembaga regulator, layaknya ‘dewan perwakilan rakyat’. Bahkan menurut Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) itu, Dewan Pers hari-hari ini telah menjelma menjadi polisi atau jaksa pers yang dengan tanpa malu-malu melemparkan ‘ancaman’ ke dunia pers melalui tangan Pemerintah Daerah.
“Saya sangat prihatin melihat gelagat tidak bersahabat Dewan Pers selama ini. Lembaga itu telah menjelma menjadi monster yang menebarkan ancaman ke kalangan pers di daerah-daerah. Mungkin karena takut berhadapan langsung dengan kawan-kawan media, dia mengancam lewat himbauan bernada premanisme ke pemda-pemda, melarang melakukan kerjasama dengan berbagai media, terutama yang belum daftar ke lembaga Dewan Pers. Pasal berapa di UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang mewajibkan media harus daftar ke lembaga itu?” ulas Wilson dalam releasenya, Kamis 17 Oktober 2019.
Untuk itu, lanjut lulusan pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University Inggris ini, dirinya menghimbau agar Pers Indonesia tetap tenang, bekerja dan berkarya seperti biasa, lakukan tugas pokok menyampaikan informasi yang diperlukan rakyat. “Kawan-kawan Pers tidak perlu terpengaruh dengan intimidasi Dewan Pers yang dilancarkan selama ini. Awalnya, puluhan organisasi pers yang membentuk lembaga Dewan Pers itu, tapi kini mereka sudah bermutasi menjadi pemangsa terhadap induknya sendiri. Itu lembaga kehilangan jati diri, tidak paham tugasnya yang digariskan dalam pasal 15 UU No 40 tahun 1999,” ungkap Wilson yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Keluarga Alumni Jepang ini.
Senada dengan Wilson, Alumni Lemhannas lainnya, Fachrul Razi, MIP, menyampaikan bahwa Dewan Pers tidak diberi hak untuk mengatur-atur rumah tangga lembaga lain, seperti Pemerintah Daerah. Fachrul yang juga menjabat sebagai Senator DPD RI dari Aceh itu meyakinkan agar Pemerintah Daerah tidak perlu takut atau khawatir dengan “intimidasi” yang dilancarkan oleh ‘lembaga preman pers Indonesia’ (Dewan Pers – red) itu.
“Pemerintah Daerah harus mengabaikan apapun kebijakan yang bersifat mengintervensi kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah, termasuk dalam hal penggunaan anggaran bagi kepentingan publikasi program pemerintah melalui media massa. Pemda yang punya kewenangan, mengapa Dewan Pers yang mengatur-atur? Pakai ancam-mengancam lagi. Dewan Pers jangan jadi lembaga premanisme pers Indonesia,” tegas Pimpinan Komite I DPD RI ini.
Fachrul, yang saat ini sedang menyelesaikan program doktor bidang Ilmu Politik di Universitas Indonesia itu, menyarankan agar Dewan Pers kembali ke khitahnya, menjalankan fungsinya sebagai penjaga kebebasan dan kemerdekaan pers. “Dunia mengakui kemajuan demokrasi di Indonesia sejak reformasi digulirkan, yang salah satunya adalah reformasi di bidang Pers. Tanpa pers yang bebas dan merdeka, mustahil demokrasi kita bisa semaju sekarang ini,” imbuh Senator DPD RI yang terkenal vokal itu.
Terkait komposisi Dewan Pers yang dikuasai segelintir pengurus organisasi pers, Wilson menyampaikan bahwa hal tersebut menjadi preseden buruk dalam mewujudkan lembaga Dewan Pers yang independen sesuai harapan pasal 15 UU No 40 tentang Pers. “Sebenarnya, Keputusan Menpen No. 74 tahun 1975 tentang PWI (Persatuan Wartawan Indonesia – red) sebagai satu-satunya organisasi pers yang diakui Pemerintah sudah dicabut. Jadi, PWI tidak semestinya menjadi acuan tunggal bagi bangsa ini dalam dunia pers. Ada puluhan organisasi pers nasional yang bahkan memiliki kompetensi, kredibilitas, dan kemampuan yang lebih baik dari organisasi peninggalan orde baru itu. Dewan Pers seharusnya diisi oleh para pakar dan praktisi pers dari puluhan organisasi pers ini yaa,” ujar Wilson yang juga menyelesaikan studi pascasarjana bidang Applied Ethics di Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia, itu mengakhiri releasenya. (APL/Red)
Komentar