Berita Sidikkasus.co.id
SURABAYA – Jaman sudah berubah, dan Presiden kita Ir.H. Joko Widodo fukus pada jaman Milenial. Seluruh sendi kenegaraan harus profesional.
Termasuk aparat penegak hukum. Tidak bisa sembarangan, asal asalan, apalagi main mata. Contohnya, pada perkara hubungan dagang toko Ojo Lali dan CV Mitra Mulia, menyeret penyidik jadi tergugat.
Aneh, perkara yang unsurnya masuk pada perkara perdata, dijadikan pidana. Bahkan, dalam penyidikan telah dijelaskan perkara tersebut adalah perdata dengan bukti bukti pembayaran, tidak digubris dan penyidikpun tetap melakukan penahanan serta BAP, perkaranya telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negri (Kejari) Tanjung Perak Surabaya.
Sementar jaksa penuntut umum (JPU) telah minyidangakan di Pengadilan Negri (PN) Surabaya. Dan sekarang telah melewati tuntutan.
Khusus dalam perkara, gugatan melawan hukum kesewenang wenagan aparat negara, tertuang dalam nomor perkara 751/Pdt.G/2019/PN.Sby. Juga sampai pada tingkat kesimpulan.
Pada hari Rabu, 11 Desember 2019 lalu, Chrisman Hadi SH.MH dengan tetap pada kesimpulannya bahwa kliennya tidak melanggar perkara pidana.
Karena pokok materinya sama, antara JPU dan penyidik menggunakan pasal 374 jo 65 ayat (1) KUHP dan Harjono Sugianto saat ini jadi terdakwa dan penggugat telah dituntut 3 tahun 6 bulan.
Menurut Chrisman, dalam hal ini JPU tidak melihat fakta hukum dalam persidangan.
faktanya dipersidangan ada 6 poin yang dinilai tidak memenuhi unsur pidana. Diantaranya:
1. Terdapat hubungan keperdataan antara terdakwa pemilik toko Ojo Lali Jl. Kedungdoro 16 Surabaya dengan CV. Mitra Makmur. Hubungan bisnis dalam transaksi penjualan accu.
2. Terdapat hutang dagang akibat dari hubungan bisnis antara terdakwa dengan CV Mitra Makmur. Tetapi jumlahnya tidak sebesar yang ditudingkan oleh JPU dalam surat dakwaannya.
3. Stok accu yang masih ada di toko Ojo Lali sejumlah 300 unit telah kembalikan ke CV. Mitra Makmur, tanggal 16 Juli 2018.
4. Bukti pembayaran tanggal 14 Juli 2018, sebesar Rp. 100 juta juga tidak digubris.
5. Bukti pembayaran 12 Juli 2018 , sebesar Rp. 53.710.000,- gak direken.
6. Bukti pembayaran 7 Juli 2018 sebesar Rp. 55.550.000,- dianggap sama saja.
7. Bukti pembayaran sebesar Rp. 50 juta tanggal 6 Juni 2018.
8. Setumpuk bukti pembayaran dari toko Ojo Lali ke CV Mitra Makmur, semua bukti bukti tersebut diajukan ke penyidik dan JPU tidak di gubris.
“Ini salah satu bukti pemerkosaan hukum, penyidik dan JPU mengabaikan diskresi dan tidak melihat fakta persidangan ,” tutur Chrisman Hadi, SH MH.
Analisis Yuridis
Perkara ini terdapat hubungan keperdataan antara terdakwa pemilik toko Ojo Lali dengan CV. Mitra Makmur, berupa hubungan bisnis dalam transaksi penjualan accu. Terdakwa masih punya kewajiban pembayaran hutang dagang dengan CV. Mitra Makmur.
Dakwaan dan tuntutan JPU didasarkan pada asumsi hukum bukan berdasarkan pada fakta hukum dalam persidangan.
Terdakwa tidak terbukti melakukan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 374 jo pasal 65 ayat (1) KUHP
“Perbuatan terdakwa bukan tindakan pidana. Oleh karenanya sangat dan tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku apabila dibebaskan,” tutur Chrisman Hadi SH MH.
Kesimpulan
Sementara, dalam perkara 751/Pdt.G/2019/PN.Sby. Chrisman menilai tergugat Polres Tanjung Perak Surabaya, mengabaikan bukti tanda terima, mengabaikan hubungan keperdataan. Mengabaikan fakta hukum tentang rekaman ada suara pertemuan antara penggugat dan dengan pihak pelapor, pertengahan Juli 2019.
Berdasarkan Pasal II Internasional Convenant On Civil and Political Right (Konvenan Internasional Tentang Hak Gak Sipil dan Politik) sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang Undang nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Convenant On Civil and Political Right. Secara jelas menyatakan, “Tidak seorang pun dapat dipenjara semata mata atas dasar ketidak mampuannya untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian.”
Dalam perkara ini, tergugat dinilai bertindak seperti Centeng bagi pelapor. (udik)
Komentar