Bupati Dalam Tempurung

Berita,sidikkasus.co.id

Presiden Joko Widodo mengungkapkan, ada 62 Kabupaten terisolir di Indonesia 2020- 2024. Disebut terisolir karena daerah dan masyarakatnya sama sekali tidak berkembang dari daerah lain secara nasional.

Kenapa masih ada daerah terisolir?

Meski pemerintah (Pusat) sudah menggelontorkan anggaran begitu besar ke Kabupaten dan Desa? Persoalannya terletak pada Bupati karena selalu berpikir dan bertindak dalam kebiasaan. Padahal, di luar itu, terbentang lebar jalan untuk menuju kesuksesan.

Cuma butuh kreativitas dan inovasi.

Pada umumnya, Bupati di daerah terisolir kaya gaya miskin kreasi apalagi inovasi.

Seorang Bupati di daerah terisolir menempatkan diri sebagai kaki tangan perusahaan di hadapan rakyatnya. Ia merayu rakyat untuk menggadaikan sawah dan ladang mereka untuk kepentingan pabrik dan tambang. Sama sekali tidak ada hubungannya untuk mensejahterakan petani. Pertanian itu, kata Xenophon, ialah ibu dari segala budaya. Kata Lao Tze, tidak ada satu pun yang lebih penting di dunia ini selain pertanian jika ingin masuk surga.

Bupati Banyuwangi, Jawa Timur, Abdullah Azwar Anas, ialah contoh pemimpin sukses. Ia mampu membawa daerahnya keluar dari predikat daerah terisolir. Ia tetap fokus pada pertanian. Ketika memimpin daerah yang sebelumnya dikenal sebagai Kota santet, Azwar menetapkan lahan abadi. Lahan tidak boleh dialihfungsikan. Seluas 55 ribu hektare sawah abadi pada 2018.

Hingga saat ini, Banyuwangi masih fokus pada peningkatkan nilai tambah dengan cara mengembangkan padi organik. Hasilnya, beras organik Banyuwangi diekspor ke berbagai negara, dibeli dengan harga sangat baik oleh pabrikan makanan besar. “Itu upaya untuk memberi nilai tambah agar kesejahteraan petani meningkat,” ujar Azwar.

Pada saat menjadi pemegang izin tambang, Azwar bernegosiasi dengan perusahaan tetapi dia bukan kaki tangan perusahaan.

Banyuwangi mendapatkan share di perusahaan induk tambangnya. Saat ini dengan kepemilikan saham tersebut, Banyuwangi punya saham dengan nilai triliunan rupiah, di samping tetap dapat pajak, retribusi, dan berbagai pendapatan sah lainnya menurut peraturan perundang-undangan.

Kunci keberhasilan Azwar ialah berpikir anti-mainstream. Berbagi pendekatan anti-mainstream ia kerjakan di Banyuwangi antara lain ‘setiap dinas adalah dinas pariwisata’, ‘dari Kota santet menuju Kota internet’, dan ‘semakin terbatas semakin teratas’.

Ia memberi contoh ‘semakin terbatas semakin teratas’ di saat ia membangun bandara. Karena uang terbatas, ia bangun green air port pertama di Indonesia.

“Saya sendiri datang menemui arsitek Andra Matin, saya ketuk pintu rumahnya, saya paparkan visi, tentu saya juga beritahu bahwa kami tidak bisa membayar secara profesional. Alhamdulillah, beliau yang merupakan arsitek papan atas yang karyanya sudah lintas negara, mau membantu mendesain,” ujar Azwar.

Sekarang, green air port Banyuwangi menjadi destinasi tersendiri, green air port pertama di Indonesia, masuk diberbagai bahasan arsitektur nasional dan internasional. Bagaimana penerapan setiap dinas adalah dinas pariwisata? Apakah di sana tidak ada dinas perindustrian atau dinas pertanian?

Ketika PT Industri Kereta Api ingin membangun pabrik kereta terbesar se-ASEAN di Banyuwangi, Azwar meminta BUMN itu untuk membangun Museum Kereta Api. Alasannya, jika museum sebagai destinasi wisata, selamanya orang akan berkunjung ke sana.
“Setiap dinas adalah dinas pariwisata adalah wujud dari tourism centered economy, ekonomi yang bersumbu pada pariwisata,” kata dia.

Pariwisata terbukti memberi dampak ekonomi yang positif. Pada 2010, pendapatan per kapita per tahun warga Banyuwangi hanya Rp 20 juta. Pada 2018, angkanya naik drastis menjadi Rp 48 juta. Kemajuan Banyuwangi ditopang oleh pariwisata berbasis teknologi. Bupati gencar melakukan inovasi di bidang pariwisata yang mengangkat kearifan lokal.

Bupati di 62 daerah terisolir semestinya menjadi lokomotif anti-mainstream, terus berkreasi dan melakukan inovasi. Jangan merasa nyaman apalagi sombong berada dalam tempurung. Jika merasa nyaman, itu namanya Bupati dalam tempurung.

(Tim Sidik Kasus Sumsel)

Komentar