Berantas Politik Uang dan Politik Identitas

Sejarah mencatat,
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sumatera Selatan (Sumsel) tidak pernah terlepas dari berbagai macam praktik penyimpangan.

Praktik politik uang (Money Politik), politik identitas, berita palsu, ujaran kebencian, serta kampanye hitam, selalu mewarnai pesta demokrasi lima tahunan ini.

Yang paling sering digunakan dalam setiap pilkada di Palembang adalah politik uang dan politik identitas. Praktik politik identitas ternyata mampu melahirkan berita-berita palsu, ujaran kebencian, dan kampanye hitam sebagai turunannya.

Politik identitas biasanya bersandar pada hal-hal bersifat sara. Suku, Agama, Ras, dan antar golongan. Segala macam atribut semacam itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kualitas calon pemimpin.

Cara semacam itu biasanya digunakan dengan maksud dan tujuan untuk memberikan informasi kabur kepada calon pemilih. Sosok pemimpin yang akan dipilih seolah-olah cuma ada satu yang bagus.

Dampak paling buruk dari politik identitas adalah bisa membuat masyarakat terpecah-pecah dan bisa menimbulkan konflik sosial dimasyarakat.

Spirit Bhinneka Tunggal Ika akan rontok dalam hitungan waktu dan membutuhkan waktu lama untuk bisa dipulihkan kembali.

Politik uang dan politik identitas biasanya digunakan oleh para calon kepala daerah yang bermental korup. Didalam alam demokrasi politik uang dan politik identitas sudah sangat melekat dan sangat sulit untuk bisa diberangus.

Akan tetapi, kita tidak boleh lantas menyerah begitu saja dan terus-menerus melakukan pembiaran. UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur dengan secara jelas tentang betapa dilarangnya praktik politik uang dan politik identitas.

Pasal 69 huruf (b) menyebut dalam kampanye kita dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan calon gubernur dan atau juga partai politik.

Sementara didalam pasal 69 huruf (c), dilarang melakukan kampanye dengan cara menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau kelompok masyarakat.

Sanksi tegas diatur didalam pasal 187 ayat (2). Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud pada pasal 69 dan seterusnya akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga bulan atau paling lama 18 bulan dan atau didenda paling sedikit Rp 600.000 maksimal Rp 6.000.000.

Mengapa, Politik identitas dan Money Politik masih tetap marak pada Pilkada Sumsel 2019 lalu bahkan sempat menjadi brutal?

Aturan yang dibuat tentu belum cukup. Penegakan hukum dibutuhkan untuk bisa meredam aksi mencoreng demokrasi memang diperlukan. Sanksi tegas jangan cuma dijadikan perhiasan didalam lembaran dan peraturan tidak boleh tebang pilih untuk dijatuhkan.

Dibutuhkan kerja serius dan berkelanjutan dari semua penyelenggara pemilu termasuk oleh aparat penegak hukum. Partisipasi masyarakat dibutuhkan untuk ikut serta mengawasi dan mawas diri dalam setiap kegiatan pilkada 2020.

Situasi ekonomi dalam kondisi sedang tidak baik saat ini, jelas akan membuat pilkada 2020 semakin rawan oleh praktik politik identitas dan politik uang.

Semua pasangan calon seharusnya bisa memberikan gagasan inovatif terutama untuk menangani situasi ekonomi dan wabah virus Korona.

Tugas kita sebagai pemilik suara harus benar-benar cerdas, perhatikan betul-betul latarbelakang calon dan perhatikan setiap gagasan yang ditawarkan.

Jangan sampai kita ikut terlibat dalam menyebarkan isu sara dan ikut-ikutan menyebarkan fitnah jika menjadi tim sukses dari pasangan calon.

Pilkada serentak 2020 harus bebas dari politik identitas dan politik uang, ini penting dilakukan karena jangan sampai persatuan dan kesatuan kita terpecah belah.

Jangan ada bahasa, narasi, serta simbol-simbol yang digunakan untuk memecahbelah persatuan dan kesatuan di masyarakat.

(MENA)

Komentar