Bencana Nasional Covid-19 Bukan Keadaan Memaksa

ARTIKEL.

Keputusan Presiden RI No 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nasional Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional menetapkan bencana nonalam yang diakibatkan penyebaran covid-19 sebagai bencana nasional bagi saya memunculkan banyak pertanyaan.

Apakah bencana nasional itu dapat dikategorikan sebagai ‘keadaan memaksa’ (force majeure/overmacht), sebagaimana dikenal dalam hukum perdata.

Keadaan memaksa diatur secara tersebar dalam beberapa pasal Kitab UU Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu Bagian IV tentang Penggantian Biaya, Rugi, dan Bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan (Pasal 1244-1245) dan Bagian VII tentang Musnahnya Barang yang Terutang (Pasal 1444-1445).

Ketentuan-ketentuan KUH Perdata itu tidak memuat suatu batasan mengenai keadaan memaksa. Namun, ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata menjelaskan bahwa keadaan memaksa sebagai suatu sebab yang halal.

Sementara itu, ketentuan Pasal 1245 KUH Perdata menyebutkan sebagai hal kebetulan (toeval) dan ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata menyebutnya sebagai hal kebetulan yang tidak dapat dikira-kirakan (onvoorziene toeval).

Keadaan memaksa absolut dan memaksa relatif apabila dilihat dari akibat-akibat keadaan memaksa, sifat keadaan memaksa terdiri dua, yaitu sifat keadaan memaksa absolut (absolute overmacht) dan sifat keadaan memaksa relatif (relative overmacht).

Sifat keadaan memaksa absolut atau keadaan memaksa yang sifatnya tetap merupakan keadaan pelaksanaan prestasi tidak mungkin dilakukan para pihak terikat kontrak.

Berbeda dengan sifat keadaan memaksa relatif atau sifat keadaan memaksa sementara yang merupakan keadaan pemenuhan prestasi yang kiranya masih mungkin dilakukan.

Keadaan memaksa relatif ini hanya menangguhkan kewajiban para pihak untuk melaksanakan prestasi atau melaksanakan kewajiban kontraktual yang masih dapat dilakukan.

Apabila faktor keadaan memaksa sudah tidak ada lagi, kewajiban untuk berprestasi muncul kembali.

Berdasarkan penjelasan di atas, bencana nasional covid-19 ialah keadaan memaksa bersifat sementara. Dikatakan sebagai kondisi sementara karena Wuhan sebagai tempat asal wabah covid-19 sudah dinyatakan aman dari wabah.

Sebagai sifat keadaan memaksa relatif, diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19 telah memadai untuk digunakan para pihak yang terikat kontrak menunda kewajiban.

POJK itu menentukan bahwa bank diberikan kelonggaran menetapkan kualitas aset dan untuk melakukan restrukturisasi kredit bagi yang terkena dampak penyebaran covid-19.

Melalui kebijakan ini, debitur diberi kesempatan untuk mengatur ulang kewajibannya yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian.

Kebijakan yang sama juga diberlakukan bagi perusahaan nonbank dan nasabahnya. Kebijakan pemberian kemudahan itu bukan spesifik Indonesia.

Kebijakan yang serupa juga dilakukan negara yang terkena dampak covid-19.

Singapura, misalnya, pada 1 April 2020 menerbitkan RUU yang melarang para pihak dalam kontrak mengambil langkah hukum jika salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan.

Langkah hukum yang dilarang antara lain mengajukan gugatan pailit.

Kondisi bencana nasionalSetidaknya terdapat tiga kriteria untuk menguji agar klausul keadaan memaksa dapat diterapkan. Pertama, kejadian harus di luar kendali para pihak.

Kedua, kemampuan para pihak untuk melaksanakan kewajiban kontraktual tidak terlaksana akibat peristiwa itu.

Ketiga, para pihak telah mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghindari atau memitigasi risiko yang ditimbulkan peristiwa atau kejadian keadaan memaksa dimaksud.

Jika ketiga kriteria itu dipenuhi, barulah para pihak dapat terhindar dari wanprestasi karena tidak melaksanakan kesepakatan.

Dalam konteks penyebaran covid-19, kriteria pertama dan kedua keadaan memaksa sudah terpenuhi.

Alasannya, covid-19 secara langsung ataupun tidak langsung berdampak terhadap kinerja dan kapasitas para pihak sehingga memengaruhi kemampuan dalam memenuhi kesepakatan yang tertuang dalam kontrak.

Debitur, misalnya, mengalami kesulitan memenuhi kewajiban membayar atau mengangsur utangnya. Kondisi debitur tersebut pada gilirannya juga berdampak terhadap kinerja dan kapasitas kreditur.

Terganggunya kinerja kreditur berpotensi mengganggu kinerja industri keuangan dan akhirnya mengganggu stabilitas sistem keuangan sehingga dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Hal penting yang harus dicermati ialah pemanfaatan bencana nasional dengan dalih sebagai keadaan memaksa sehingga terhindar dari kewajiban melaksanakan kesepakatan, dengan alasan terdapat perubahan keadaan atau kenyataan tidak terduga yang terjadi di luar kesalahan debitur.

Covid-19 mengakibatkan, setelah penutupan kontrak, menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya. Maka, dirasakan sebagai hal yang sewajarnya bahwa debitur dapat melepaskan diri dari konsekuensi yang ditimbulkan akibat wanprestasi.

Untuk memahami hal ini, perlu dipahami praktik pengadilan. Hoge Raad di Belanda dalam hal memutuskan ketidakmampuan finansial dan kenaikan harga yang jarang dipandang sebagai faktor keadaan memaksa, tapi tidak menggunakan defi nisi keadaan memaksa yang berlaku umum (HR 17 Desember 1926 W. 11620, N.J. 1927).

Sementara itu, di Indonesia, perkara keadaan memaksa yang diputuskan Mahkamah Agung pada umumnya ialah perkara terkait dengan kehilangan objek perjanjian karena bencana alam. Oleh karena itu, mendalilkan keadaan memaksa dalam konteks bencana nasional ialah bukan praktik yang lazim dari pengadilan.

Hal ini perlu dimaklumi karena kondisi pandemi seperti saat ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Perlu kehati-hatian jika terpaksa membuat penafsiran UU. Di samping harus memperhatikan maksud pembentuk UU, juga mempertimbangkan kepentingan nasional serta kemanfaatan bagi masyarakat luas.

DipastikanDalam menentukan keadaan memaksa itu, perlu dipastikan bahwa kreditur dan debitur tidak mempunyai iktikad buruk sebagaimana diatur Pasal 1244 KUHPerdata.

Debitur dapat melepaskan diri dari gugatan kreditur berdasarkan dalil adanya keadaan memaksa harus beriktikad baik.

Walaupun iktikad baik tidak mempunyai pengertian umum, dapat dimaknai yang heterogen sesuai bentuk iktikad buruk.

Hoge Raad memutuskan penafsiran iktikad baik merupakan doktrin yang merujuk kepada kerasionalan dan kepatutan atau tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal (HR 9 Februari 1932).

Putusan Hoge Raad itu telah diadopsi Mahkamah Agung RI (putusan Mahkamah Agung RI, 4 Maret 1987). Dalam konteks bencana nasional, iktikad baik ditunjukkan dengan upaya melakukan mitigasi risiko, yaitu menggunakan kemudahan melakukan restrukturisasi sebagaimana yang diatur dalam POJK 11/2020.

Tanpa iktikad baik kreditur dan debitur yang dilepaskan dirinya dari gugatan kreditur berdasarkan dalil adanya keadaan memaksa, dapat mengancam kesucian kepastian dan prediktabilitas hukum.

Posisi kreditur dan debitur dalam kondisi bencana nasional dan pemberlakuan keadaan memaksa ini harus menjadi usaha yang tentunya berlandaskan atas suatu sarana hukum yang baik dan dapat dilaksanakan (enforceable).

Mantan CEO Air Asia Tony Fernandes mengingatkan, “this is unprecedented but it is also temporary and we will back, stronger than before. Until then…stay home, be safe, and look to the future.”

Oleh : Adeni Andriadi

Komentar