Berita Sidikkasus.co.id
JAKARTA – Warga binaan kasus tindak pidana narkotika menjadi penyumbang terbesar terhadap keadaan overcrowded (kelebihan penghuni) di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan).
Subdirektorat Data Informasi, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) mencatat, per 26 Juli 2021 terdapat 139.088 warga binaan kasus narkotika dari total 268.610 penghuni lapas dan rutan. Artinya, sebanyak 51,8% penghuni merupakan pelaku tindak pidana narkotika.
Informasi tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga, dalam rapat koordinasi bertema Sinergitas Aparat Penegak Hukum (APH) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Atas Penerapan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Rapat koordinasi pada Selasa (27/6) tersebut juga diikuti oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Bareskrim Polri, dan Kejaksaan RI.
Menurut Reynhard, kapasitas hunian lapas dan rutan di Indonesia adalah 132.107 penghuni. Dengan demikian, jumlah penghuni kasus narkotika saja sudah melebihi kapasitas yang tersedia.
“Lapas dan rutan yang seharusnya jadi tempat pidana umum, pidana khusus, terorisme, pencucian uang, illegal logging, dan sebagainya sudah didominasi oleh narkotika. Kapasitas 132.000-an ini bahkan tidak cukup untuk kasus narkotika saja,” ujarnya.
Reynhard menambahkan, kondisi hunian lapas/rutan dalam 5 tahun terakhir juga meningkat sekitar 130.000-an, sehingga diperkirakan dalam 5 tahun ke depan akan terjadi peningkatan yang sama. Jika semangat pemenjaraan terus dibiarkan, maka dalam lima tahun ke depan penghuni lapas dan rutan dapat mencapai 400.000-an.
Sementara itu, dari 139.088 terpidana kasus narkotika, 101.032 orang di antaranya adalah penerima pidana di bawah 10 tahun, 13.685 penerima pidana di atas 10 tahun, dan 24.371 lainnya tahanan. Artinya, penghuni terbanyak merupakan kategori pemakai atau tersangka dengan barang bukti yang kecil.
Oleh karena itu, ia ingin agar semangat penanganan kasus penyalahgunaan narkotika khususnya pada pemakai diarahkan pada aspek kesehatan, bukan lagi pada pemenjaraan.
Reynhard berpendapat, keadaan overcrowded di lapas dan rutan yang didominasi oleh pelaku tindak pidana narkotika mengakibatkan kegiatan pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian tidak berjalan optimal.
Selain itu, biaya operasional yang harus dikeluarkan negara juga sangat besar. Menurutnya, akan lebih baik jika biaya tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan rehabilitasi.
Adapun Direktur Hukum BNN, Susanto mengatakan, rehabilitasi ini sesuai dengan semangat pemerintah yang ingin mengubah pandangan bahwa pecandu dan pengguna narkotika bukanlah pelaku kejahatan, melainkan orang sakit yang memerlukan perawatan guna pemulihan dari ketergantungan.
Sebagaimana diamanatkan Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009, pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkotika wajib mengikuti rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Kendati demikian, negara masih mengalami persoalan dalam pelaksanaan rehabilitasi, yaitu terbatasnya tempat rehabilitasi yang tersedia, jauhnya jarak yang harus ditempuh, dan terbatasnya jumlah sumber daya manusia yang menangani.
Untuk itu ia berharap koordinasi APH dan Bappenas ini dapat menjadi langkah strategis penanggulangan persoalan rehabilitasi. “Tujuannya agar tujuan hukum, yaitu kepastian, perlindungan, dan kemanfatan dari hukum sendiri dapat terpenuhi sehingga tercapai proses yang berkeadilan bagi setiap orang dan jumlah pecandu serta korban penyalahgunaan narkotika dapat ditekan,” tutur Susanto. (AViD)
Komentar