Berita Sidikkasus.co.id
STABAT – Proses persidangan kasus dugaan penganiayaan terhadap Harno Simbolon, dengan terdakwa Syamsul Bahri dan M Samsir telah melewati masa tuntutan. Kedua terdakwa itu dituntut enam bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Senin (17/5) pagi.
Saat menyampaikan surat tuntutannya, Renhard Harve SH MH mengatakan, bahwa kedua terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, sebagaimana diatur dalam pasal 170 (1) KUHPidana sebagaimana dalam surat dakwaan pertama.
“Supaya majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama enam bulan, dikurangi selama terdakwa dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan,” kata Renhard saat membacakan surat tuntutannya terhadap terdakwa, yang diketahui sebagai warta Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura itu.
#Abaikan Fakta Persidangan
Aktivis lingkungan hidup Yayasan Srikandi Lestari dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut sangat menyayangkan putusan yang disampaikan JPU. Pasalnya, pada fakta persidangan sebelumnya, dr M Iqbal yang hadir sebagai saksi korban menyatakan, bahwa dirinya tidak pernah mengeluarkan Visum et Revertum atas nama Harno Simbolon.
“Dalam persidangan sebelumnya, dr M Iqbal mengaku hanya memberikan resep dan obat kepada Harno Simbolon, yang menemuinya pada 18 Desember 2020 silam, hanya untuk berobat, bukan buat visum, serta tanpa ada surat pengantar dari penyidik kepolisian,” ketus Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumiati Surbakti SE.
Sementara, kata wanita yang biasa disapa Mimi itu, pada persidangan sebelumnya, Harno Simbolon juga memberikan keterangan yang berbelit-belit. “Bahkan, sikap Harno Simbolon pada saat itu juga sempat membuat majelis hakim dan JPU sendiri merasa kesal,” sambungnya.
Dalam pasal 66 Undang-undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan, bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. “Terdakwa hanya melakukan pekerjaan untuk melestarikan lingkungan, tapi kok malah di pidana, ada apa ini,” tandas Mimi.
# Diminta Profesional
Perwakilan dari WALHI Sumut Khairul Bukhari yang juga selalu hadir mengikuti persidangan berharap, agar majelis hakim yang diketuai oleh Sapri Tarigan agar bertindak adil dan profesional dalam memutuskan perkara tersebut. Pasalnya, sesuai fakta persidangan, baik korban maupun saksinya terkesan berbelit-belit saat menyampaikan kesaksiannya.
“Baik korban maupun saksinya, terkesan merekayasa peristiwa yang dituduhkan terhadap terdakwa. Kita harap majelis hakim dapat mempetimbangkannya. Selain itu, dokter yang disebut mengeluarkan visum, justru tidak mengakui kalau dirinya mengeluarkan surat visum atas nama Harno Simbolon,” kata pria yang biasa disapa Ari itu.
# Alih Fungsi Lahan
Ari menambahkan, kedua terdakwa merupakan pejuang lingkungan hidup yang terus melakukan rehabilitasi kawasan hutan yang rusak akibat beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan tambak. “Mereka (terdakwa-red) diberikan amanah dari negara, sesuai dengan Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK) SK Nomor 6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018, yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia,” sambungnya.
Menurut data dari Pemerintah Desa Kwala Serapuh, akibat kerusakan hutan mangrove di sana, garis pantai sepanjang lebih kurang lima kilometer di desa tersebut, mengalami abrasi tiga meter setiap tahunnya karena tergerus ombak. Dikhawatirkan, pulau-pulau kecil di sana akan tenggelam alias hilang karena mengalami abrasi. (AVID)
Teks foto: Syamsul Bahri dan Samsul di ruang persidangan usai pembacaan dakwaan.
Komentar