Oleh: Latin, SE
Jakarta – Kebijakan Penyehatan dan Penyelamatan BUMN Asuransi Jiwasraya (AJS) yang diajukan Dewan Direksi perusahaan ini telah menimbulkan paradoks. Sebuah program yang terlihat seolah-olah menyelamatkan tapi sesungguhnya justru akan menghasilkan keterpurukan dan kehancuran bagi Jiwasraya. Langkah tersebut perlu dievaluasi untuk kemudian dihentikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam upaya membangun perusahaan BUMN sebagai lokomotif bisnis Negara.
Restrukturisasi Polis Konsumen Jiwasraya, yang digadang-gadang mampu menjadi strategi utama penyelamatan dan penyehatan BUMN AJS, pada kenyataannya menjadi pembunuh berdarah dingin yang sangat mematikan Jiwasraya. Bahkan, kebijakan itu telah dan akan merugikan seluruh konsumen polis asuransi jiwa milik negara ini yang berjumlah kurang lebih 5,3 juta jiwa.
Restrukturisasi Polis Konsumen yang memangkas nilai manfaat polis hingga ke angka 70 persen dari nilai simpanan polisnya pada hakekatnya adalah program perampokan dana nasabah. Modus operandi yang dijalankan cukup rapi, seolah-olah kebijakan itu merupakan program penyelamatan polis yang legal, yakni dengan mengalihkan ke new company pada asuransi Indonesian Financial Group, IFG Life, anak usaha dari Badan Pembina Usaha Indonesia (BPUI).
BPUI/IFG, yang juga adalah BUMN, selama ini beroperasi dengan core bisnis di sektor pembiayaan, bukan pada core bisnis yang sebagaimana mestinya. Manajemen BPUI/IFG di masa lalu pernah tersangkut skandal korupsi. Hal itu tentunya akan membuat ketidakyakinan publik dalam mendorong keberhasilan perusahaan tersebut dalam memimpin Holding BUMN perasuransian dan penjaminan pada sektor jasa keuangan nonperbankan.
Pada sisi lain, penggunaan nama badan usaha menggunakan nama bahasa asing tidak sejalan dengan Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Pada pasal Pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa: Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama lembaga usaha yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Penunjukan BPUI/IFG sebagai satu-satunya induk Holding BUMN Perasuransian dan Penjaminan dinilai tidak sejalan dengan semangat membangun perusahaan-perusahaan BUMN, khususnya dalam bidang industri perasuransian, dalam hal upaya untuk efisiensi biaya. Perampingan anak usaha BUMN atau holdingisasi dibentuk dalam rangka menjaga kemampuan bersaing perusahaan secara sehat, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Melalui perampingan dalam menjalankan bisnis badan usaha negara tersebut, diharapkan agar BUMN kembali fokus kepada core bisnis masing-masing yang dimiliki oleh perusahaan induknya.
*Restrukturisasi Polis Merugikan Konsumen*
Implementasi program Restrukturisasi Polis Konsumen Jiwasraya yang dialihkan ke new company, yakni pada IFG Life, diduga menerapkan praktek rekayasa kongsi yang tidak sejalan dengan regulasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi. Pasal 60 ayat (1) dalam peraturan OJK itu menegaskan bahwa “Pengalihan sebagian portofolio pertanggungan oleh Perusahaan atau Unit Syariah hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan OJK”.
Dan, pada ayat (2) dalam pasal yang sama menyatakan “Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bahwa pengalihan dimaksud: (a) tidak mengurangi hak pemegang polis, tertanggung, peserta, atau Perusahaan Ceding; (b) dilakukan kepada Perusahaan atau Unit Syariah yang memiliki bidang usaha yang sama; (c) dilakukan kepada Perusahaan atau Unit Syariah yang telah memiliki produk sejenis atau jenis perjanjian reasuransi yang sejenis; dan (d) tidak menyebabkan Perusahaan atau Unit Syariah yang menerima pengalihan dimaksud melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
Dengan kata lain, dalam hal pengalihan pertanggungan portofolio asuransi kepada perusahaan asuransi jiwa yang lainnya haruslah dengan perusahaan sejenis, dan hendaknya minimal memiliki manfaat yang sama dengan manfaat polis pada perusahaan asuransi sebelumnya. Namun pada prakteknya, Restrukturisasi Polis Konsumen Jiwasraya itu mengurangi dan menghilangkan semua manfaat yang melekat pada polis sebelumnya, dengan mengubah perjanjian klausa baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perasuransian mengenai perjanjian kedua pihak. Kebijakan dan tindakan Manajemen AJS mengambil keputusan sepihak dengan mematikan seluruh polis aktif milik konsumen Polis Jiwasraya pada tahun 2020 lalu, yang dibuktikan adanya cut off 31/12/2020 dalam bentuk polis yang memiliki Nilai Tunai (NT), telah menimbulkan kerugian besar bagi Konsumen Polis Jiwasraya.
Sejumlah konsumen AJS yang mengalami kerugian itu dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan saluran distribusi produk AJS, sebagai berikut:
– Kelompok Pertama: saluran distribusi bancassurance sebanyak 17.459 peserta, dengan total liabilitas perseroan kurang-lebih 16,8 triliun, yang produknya dijual melalui kanal perbankan sebagai agen penjual sejumlah 7 bank yang ditunjuk (BRI, Standard Chartered Bank, BTN, QNB Indonesia, ANZ Indonesia, Vinctoria Internasional, dan KEB Hana Bank).
– Kelompok Kedua: saluran distribusi ritel BOS (Branch Office System) melalui 74 kantor cabang dan 17 kantor wilayah di seluruh Indonesia. Terdapat tidak kurang dari 3,04 juta peserta AJS di kelompok ini dengan total liabilitas perseroan Jiwasraya kurang-lebih sebesar 10,2 triliun.
– Kelompok Ketiga: saluran distribusi pemasaran Korporasi Program Manfaat Karyawan (Employee Benefit) melalui 2.094 Pemegang Polis Korporasi, dengan jumlah peserta kurang-lebih 2,26 juta peserta, dengan liabilitas perseroan Jiwasraya sekitar 24,4 triliun.
Dari ketiga kelompok tersebut, secara keseluruhan total konsumen Polis AJS mencapai 5,3 juta orang. Ini artinya, kebijakan Restrukturisasi Polis Konsumen Jiwasraya akan merugikan 5,3 juta jiwa rakyat Indonesia. Mereka ini akan kehilangan benefit atau manfaat polis asuransi pertanggungan yang melekat pada polis yang dimilikinya.
Selain merugikan jutaan nasabah ini, kebijakan tersebut juga akan membawa kerugian bagi Perusahaan AJS, terutama dikaitkan dengan potensi hilangnya income perseoran Jiwasraya di masa depan. Hal itu akan berpengaruh kepada menurunnya potensi pemenuhan liabilitas atau hutang yang harus dilunasi perusahaan kepada para pihak terkait. (bersambung)
Komentar