Berita sidikkasus.co.id
Probolinggo—Maraknya gelandangan, pengemis, dan orang terlantar (Gepeng) dianggap mengganggu semangat Kota Probolinggo sebagai tujuan wisata di Jawa timur.
Upaya penertiban terus dilakukan oleh Satpol PP juga pihak Dinas Sosial (Dinsos) Kota Probolinggo. Dengan memasang papan himbauan dibeberapa titik terkait Perda Nomor 9 tahun 2003.
“Kami pasang di Jalan Gatot Subroto juga kawasan Sukarno Hatta,” kata Kepala Satpol PP Kota Probolinggo,Aman Suryaman.
Selain itu kami juga sering melakukan ops tangkap untuk diserahkan ke Dinsos biar ada pembinaan.Senin (29/3/2021).
Dalam papan himbauan itu, tercantum larangan bagi setiap orang atau warga untuk melakukan usaha mempekerjakan orang lain dan atau kehendak sendiri sebagai pengemis atau peminta-minta yang menganggu lalu lintas.
Salah satu warga mengindikasi maraknya modus para gepeng di sejumlah titik lampu merah Kota Probolinggo. Mereka saat ini menjadi peminta dengan cara yang berbeda.
“Mereka meminta-minta dengan menjual barang, seperti tisu, lap, boneka, dan lainnya. Sementara, pemodalnya mengawasi dari jauh,” ungkapnya.
Tidak sedikit di antara pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT) masih di usia anak-anak. Dia menjelaskan berdasarkan Undang-undang yang berlaku, anak-anak seharusnya mendapat perlindungan.
Situasi seperti itu akan menimbulkan persaingan usaha yang melahirkan konflik sosial. Dikhawatirkan mendorong tindak kriminal.
“Kami juga pernah menemukan seorang peminta-minta yang sebenarnya orang mampu. Dia melakukan tindakan itu untuk menyicil beli barang” sebut dia.
Ia juga mengatakan, pelarangan PGOT berkeliaran di jalanan Kota Probolinggo sebagai salah satu upaya mendukung sektor pariwisata Kota Probolinggo yang sedang berkembang.
“Kami harap, dengan adanya pemasangan papan himbauan ini, wisatawan yang berkunjung ke Kota Probolinggo tak terganggu dengan PGOT,” terang dia.
Sementara itu,Kadinsos Kota Probolinggo,Rey Suweigtyo mengungkapkan, selama ini PGOT yang berkeliaran di Kota Probolinggo didominasi orang luar kota.
Dia mengklaim, selama ini pihaknya melakukan langkah dan upaya penanganan, seperti mediasi dan pembinaan. Namun, diakui upaya tersebut sejauh ini belum dianggap efektif.
“Kami menjaga titik-titik rawan PGOT untuk mencegah mereka terus berkeliaran. Selain itu dibutuhkan pula pengawasan dari masyarakat sendiri,” ujar dia.
Dalam perda tersebut, disertakan pula ancaman sanksi bagi pelanggar. Berupa pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau berupa denda.
“Kami masih melakukan proses rumah singgah dalam rangka untuk melakukan pembinaan juga pelatihan bagi mereka,dan ini merupakan salah satu solusinya kedepan,,”pintanya.
(yu/ghoni)
Komentar