Pilkades OKI, Terasa Ada Politik Uang

Berita Sidik Kasus.co.id

OKI – Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan (Sumsel) yang akan digelar secara serentak di 157 Desa 2021 akan diwarnai oleh berbagai aksi kecurangan. Salah satu yang akan menjadi sorotan publik adalah fenomena politik uang (money politics) yang masif dengan modus operandi yang beragam.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Forum Keadilan Rakyat Indonesia Ansori AK mengatakan fakta dilapangan mengintifikasi adanya praktek dagang atau jual beli suara dengan modus baru untuk mengelabui petugas pengawas dan menghindari sanksi. Salah satunya dengan melibatkan tim sukses calon.

“Modus ini sebenarnya adalah modus lama dan masuk dalam kategori money politics dan merupakan bentuk pelanggaran karena masyarakat yang menerima uang dimintai imbalan untuk memilih calon tertentu. Hanya saja modus dikamuflase lebih cantik untuk menghindari sanksi,” ujar Ansori AK kepada Sidikkasus.co.id, Sabtu 21 Februari 2021.

Ansori AK mengatakan realitas politik dagang atau jual beli suara juga terjadi dan tercermin dari pengerahan saksi bayangan yang dikemas melalui mobilisasi tim sukses di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 10-20 orang dengan imbalan rupiah berkisar antara Rp 100 ribu-Rp 250 ribu per orang. Tehnik pembayaran uang saksi dilakukan dua tahap, yakni pertama diberikan Rp 50 ribu-100 ribu dan sisanya dibayar setelah penghitungan suara selesai dilakukan.

“Itu dilakukan untuk efisiensi dana dan juga memastikan dukungan suara saksi bayangan tersebut. Apabila suara yang ditargetkan hasilkan tidak sesuai dengan kesepakatan, maka jangan harap sisa pembayaran akan diperoleh saksi terlepas calon tersebut menang atau kalah,” ujar dia.

Menurut Ansori AK potensi suara siluman (ghost voters) dengan memanfaatkan celah akurasi data Daftar Pemilih Tetap (DPT) juga perlu dipertanyakan. Selain pemilih ganda, pemilih dibawah umur, pengelembungan DPT pun akan dilakukan dengan melibatkan petugas.

“Bahkan lebih dari itu, petugas saksi calon di lapangan sering terkecoh verivikasi pembacaan suara sah atau tidak sah yang akan dilakukan oleh panitia partisan di TPS. Pertanyaannya adalah mengapa praktik kecurangan jual beli suara kerap terjadi disetiap perhelatan demokrasi? Apa mungkin kandidat susah untuk diingatkan. Atau sebaliknya masyarakat terkesan sudah tidak peduli. Padahal, jeratan sanksi tegas sudah tercantum di dalam Undang-Undang,” ujar dia.

Ansori AK menambahkan praktek kecurangan yang dilakukan dapat merusak kualitas Pilkades dan mencederai demokrasi. Pilkades yang cacat berpotensi besar menghasilkan pemimpin desa yang sangat diragukan integritas dan komitmennya untuk menjadi panutan masyarakat. Terutama, mereka yang terpilih karena”membeli suara” dan mereka yang terbiasa dengan cara-cara kotor untuk meraih kursi kepala desa.

“Ibarat kita menunjuk dengan satu telunjuk jari, keempat jari lainnya mengarah ke kita sendiri. Jika pemimpin terpilih nantinya korup, menggadaikan kepentingan masyarakat terhadap pemodal/cukong yang memberi pinjaman uang demi kepentingan sukses calon pada masa pilkades. Hal tersebut merefleksikan masyarakat pemilih yang lebih mementingkan pemberian uang/barang, daripada integritas calon serta program visi misi berbasis kepentingan masyarakat. Untuk itu, jadilah pemilih yang cerdas dalam menentukan pemimpin berkualitas,” ujar dia.

ADENI ANDRIADI

Komentar