Berita Sidikkasus.co.id
TALIABU, – Setelah Pleno Komisi Pemilihan Umun (KPU), masyarakat selalu digaduhkan dengan wacana simpang siur, terlebih lagi bagi yang tidak memahami alur proses sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) di Mahkamah Konstitusi, jika bukan syok, diam dan pasrah adalah langkah bijak yang mereka tempuh atas ketidakpastian hasil perjuangan mereka.
Masyarakat wajib tahu, sebagai pemilik suara bahkan menurut legitimasi negara sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Kurangnya pendidikan politik, demokrasi yang dikangkangi membuat masyarakat tidak cukup memahami politik dan alur prosesnya. Ironisnya, mereka yang memahami alur proses PHP memberikan gambaran yang hanya menakut-nakuti, lebih lagi menyebar informasi hoax, sehingga sebagian dari mereka larut yang belum tentu muaranya menggembirakan.” dirilis Founder Yayasan Bantuan Hukum Mitra Society ( FYBHMS) Yakni Sarifudin, M.Si/Syaris pada hari Selasa 5 Januari 2021.
“Mari bijak memberikan informasi, berdasarkan data, merujuk referensi bahkan pada tataran argumentasi yang etis untuk tidak sampai hanya menyebar hoax, fitnah, apalagi menjadi kaum penghujat.
Dikatakan Sapaa Syaris, Beberapa minggu yang lalu saya menulis artikel sederhana berjudul: Pilkada Serentak 2020, Dari Selisih dan Pelanggaran Menuju Kebenaran Formil dan Substantif, dengan maksud memberikan penjelasan agar kita tidak terjebak pada eforia yang menghanyutkan.
Artikel tersebut bukan ditulis tanpa rujukan atau referensi. UU MK, UU Pilkada, PMK No. 6 Tahun 2020, website resmi Mahkamah Konstitusu (MK) yang berisi penjelasan wakil ketua MK serta hakim konstitusi adalah dalil yang digunakan agar artikel tidak bersifat subjektif tapi memberi kesan logis dan terlebih lagi ilmiah.
Namun begitulah psikologi tim yang nyaman dengan kekuasaan, cenderung mempertahankan status quo. Seperti kata si Abang, ada 2 predikat manusia yang susah untuk diyakinkan didunia ini; pertama tim sukses, kedua insan yang sedang jatuh cinta. Semua kebenaran yang disampaikan akan serasa hambar buat mereka.” ungkapnya.
Sepantasnya kaum intelektual, akan selalu merujuk literatur, menyajikan data dan fakta dalam berargumentasi ataupun berdalil. Jika dalam akidah islam, berdalil harus merujuk pada al qur’an dan hadis dan dengan menggunakan logika sehat, maka dalam melihat aspek hukum harus merujuk pada aturan hukum dan peraturan teknisnya.
Dalam penyelesaian sengketa PHP Kada, aturan hukum yang menjadi acuan diantaranya; UU Pilkada, UU MK dan PMK No. 6 Tahun 2020 sebagai peraturan teknisnya.
Pasal 45 ayat (l) UU MK menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
“Acuan tehnis dalam PMK No. 6 Tahun 2020 menjelaskan bahwa penyelesaian Pasal 158 (UU Pilkada) pada akhir perkara, dimana harus menggali dulu informasi, mencari bukti-bukti, dan memperoleh keterangan untuk menemukan kebenaran substantif, bukan sekadar kebenaran formil.
Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa Pemilukada tidak hanya membedah permohonan dengan melihat hasil perolehan suara an sich, melainkan Mahkamah juga meneliti secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) yang mempengaruhi hasil perolehan suara.” jelas Syaris.
Pelanggaran yang telah direncanakan secara berjenjang, dilakukan dengan perencanaan yang matang dan dengan menggunakan strategi yang baik serta pelanggaran dilakukan secara komprehensif di wilayah luas merupakan pelanggaran yang disebut TSM. Dalam beberapa putusan, ikhwal MK menilai pelanggaran TSM karena melibatkan banyak orang, direncanakan secara matang, dan melibatkan pejabat serta penyelenggara pemilu secara berjenjang.
Jika gugatan memenuhi unsur TSM, kebenaran formil alias jumlah suara, selisih suara bahkan ambang batas dalam pasal 158 UU Pilkada adalah poin terakhir yang akan dijadikan dalil bahkan dikesampingkan untuk memutuskan sengketa. Hal ini sangat sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan Mahkamah memutus sengketa berdasarkan kebenaran materiil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (l) UU MK.
Mengecualikan penerapan ketentuan ambang batas dalam penyelesaian sengketa PHP Kada oleh MK bukan perkara baru. Jika melihat rekam jejak putusan MK, ambang batas hasil pilkada pernah diterobos melalui mekanisme pemeriksaan pendahuluan (dismissal proses) ketika pemohon mampu menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM seperti pada pilkada serentak tahun 2017 dan 2018 di 6 (enam) Kabupaten.” pungkasnya.
1. Putusan Nomor : 5O/PHP.BUP-XV/2O17 bertanggal 3 April 2017 Sengketa Hasil Pilkada Kabupaten Intan Jaya;
2. Putusan Nomor : 14/PHP.BUP-XV/2017 bertanggal 3 April 2017 Sengketa Hasil Pilkada Kabupaten Tolikora;
3. Putusan Nomor : 42/PHP.BUP-XV/2017 bertanggal 4 April 2017 Sengketa Hasil Pilkada Kabupaten Puncak Jaya;
4. Putusan Nomor : 52/PHP.BUP-XV/2017 bertanggal 26 April 2017 Sengketa Hasil Pilkada Kabupaten Kepulauan Yapen;
5. Putusan Nomor : 51/PHP.BUP-XV/2018 bertanggal 17 september 2018 Sengketa Hasil Pilkada Kabupaten Mimika;
6. Putusan Nomor : 71/PHP.BUP-XVI/2018 bertanggal 17 september 2018 Sengketa Hasil Pilkada Kabupaten Paniai;
Demikian pula putusan akhir hasil sengketa pilkada di MK, mendiskualifikasi pasangan calon bukan hal yang tabu. Mahkamah sudah pernah memutuskan mendiskualifikasi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bengkulu Selatan tahun 2008 dan Kota Waringin Barat tahun 2010.
Pada pilkada serentak 2020, ihwal gugatan yang melebihi ketentuan ambang batas bisa dijadikan rujukan MK sebagai acuan dalam pengambilan keputusan karena pernah diputuskan sebelumnya (yurisprudensi) dengan mengecualikan penerapan ketentuan ambang batas dan memutuskan mendiskualifikasi pasangan calon, ataupun Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang sudah menjadi hidangan pahit tiap 5 tahunan di beberapa wilayah, bahkan di negeri yang kita cintai.” tegasnya.
Penantian masyarakat untuk mengetahui hasil putusan MK hingga kini masih menjadi asa yang abstrak. Bahkan sidang pendahuluan saja belum berlangsung, apalagi pembuktian dan putusan akhir.
Diterima atau ditolaknya gugatan PHP Kada di MK, hakim mahkamah memutuskan diskualifikasi pasangan calon ataupun PSU, semua dikembalikan pada seberapa kuatnya alat bukti pemohon sebagai kebenaran substantif (PMK No. 6 Tahun 2020) dan sejauh mana keyakinan hakim (UU MK Pasal 45 ayat I), bukan pada informasi hoax, apalagi argumentasi yang tidak berdalil dan cenderung sesat dan menyesatkan.” tandasnya. (Jek)
Komentar