Salah Ketik (Typo) Senjata Utama Tangkal Kritikan Publik

Opini oleh : Jerry Massie*

Lagi-lagi publik dipertontonkan dengan ketidakprofesionalnya lembaga negara dalam membuat regulasi. Berkelit salah ketik menjadi alasan klasik dalam membuat sesuatu. Sejauh ini, senjata utama ala Typo atau salah ketik. Alasannya saya nilai lantaran kurang koordinasi, kurang keterbukaan dan kurang sosialisasi ke publik.

Di era Soeharto sampai SBY, tak pernah terdengar merancang Undang-undang terus terjadi salah ketik. Padahal era Soeharto 60-an dan 70-an komputer belum ada di Indonesia.

Padahal dulu hanya mesik ketik, justru di era teknologi seperti ini malahan banyak ‘salah ketik’. Paling tidak, pasal-pasal yang dikritik bahkan demo. Saya yakin akan dihapus dengan berdalih salah ketik. Sejauh ini, sudah banyak terjadi salah ketik dalam menyusun RUU setelah itu muncul istilah ‘ salah paham’ dan terakhir ‘salah kaprah’.

Beginilah kalau membuat sesuatu tidak adanya kejujuran dan transparan ke publik. Ingat! Bikin Undang-undang bukan permainan petak umpet. Padahal salah ketik itu bertentangan dengan Undang-undang apalagi sudah disahkan DPR.

Menteri sekelas Prof. Mahfud MD saja pernah berkelit soal ‘salah ketik’ yakni pada awal 2020, yang mana Menko Polhukam menyebut ada ‘pasal salah ketik’ dalam RUU Cipta Kerja. Dalam drat terakhir, pasal itu kini sudah hilang.

‘Pasal salah ketik’ itu berbunyi:

Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), berdasarkan undang-undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/ atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini.

Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Semakin rumit dan ruwet pemimpin di negeri ini. Belum lagi mematikan microphone dalam RDP di DPR, mengusir anggota DPR keluar dalam ruangan, salah bicara para menteri, inilah model pemerintahan saat ini.

Bagaimana mungkin halaman pun berapa kali berubah-ubah dari 1000-an halaman, 900-an, kini 800-an, paling ke 1000-an lagi. Saya lihat kurang cerdas dan kurang berhikmat para legislator di DPR dalam menyusun Undang-undang. Setidaknya grand strategy, grand design and master plan sebuah program harus terarah, terukur, terkonsep dan tepat waktu.

_*Pengamat Politik Political and Public Policy Studies_

Komentar