BLT DAN PARADOKS MASA KINI OLEH LA UMAR LA JUMA

Berita Sadikkasus.co.id

TALIABU – Pada umumnya, rakyat Indonesia dihebohkan dengan kebijakan kebijakan Pemerintah Pusat di tahun 2020 yang begitu banyak. Kebijakan tersebut menuai banyak paradoks pada konteks faktualnya. Salah satu diantaranya adalah menyangkut dengan Permen Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 6 T 2020. Perubahan atas Permen No. 11 T 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa T 2020. Secara spesifik Taliabu adalah salah satu daerah yang sebagian Desa memiliki paradoks teknis menyangkut pelaksaan ketetapan ketetapan BLT di sebabkan adanya COVID 19 yang di atur dalam permen No.6 T 2020. Secara faktual kasus tersebut begitu akut, menjadi momok yang menggemparkan hingga diperbincangkan secara hangat di berbagai tingkatan kalangan.

Pada dasarnya, sebagian pihak mempersoalkan tidak adanya transparansi, tidak tepat sasaran, dan ada juga yang mengatakan pelaksanaan atau penerapan pembagian BLT dianggap inprosedural yang dilakukan oleh Pemerintah Desa. Namun, dari wacana yang hangat di media online tidak ada yang memaparkan secara tegas dan jelas tahapan teknis atau prosedur dan prasyarat khusus terkait dengan penerapan BLT sebagai edukasi terhadap masyarakat dan Pemerintah Desa yang di anggap tidak mengerti Permen No.6 T 2020. Gejolak atas problem yang begitu paradoksal seperti BLT, DD dan ADD memicu dan memunculkan isu baru yakni, pembehentian kepala desa. Isu pemberhentian Kepala Desa dan aduan aduan bahwa Kepala Desa segera mengundurkan diri menjadi wacana serius dan ramai di perbincangkan oleh rupa rupa kalangan. Tanpa menyodorkan alasan alasan yang objektif, realistis dan berdasar sehingga sebuah jabatan bisa dkategorikan dalam ruang pemakzulan. Sedangkan, kalau ditelaah, ada tiga aspek berhentinya kepala desa. Yang pertama, meninggal dunia. Kedua, permintaan sendiri. Ketiga, diberhentikan (Pasal 40 Ayat 1 UU No.6 T 2014, Pasal 54 Ayat 1 PP No.43 T 2014, dan Pasal 8 Ayat 1 Permendagri No.82 T 2015).

Sebelum membahas pokok persoalan yang kedua, saya ingin mengajukan pengalaman historis bangsa dan Negara Indonesia sebagai bahan pertimabangan bagi kita semua terkait kasus yang sama. Sebagai Desa yang berada dalam negara dengan bentuk kesatuan, secara istimewa mengikuti praktek ketatanegaraannya, atau biasanya disebut dengan istilah semi tata negara.

Kasus pengunduran diri atas permintaan sendiri yang dilakukan oleh Presiden kedua Republik Indonesia, yang salah satu sebabnya karena krisis ekonomi dunia, hingga merembak ke asia bahkan turut melanda dan mencekik Indonesia.

Telah memicu munculnya gelombang aksi mahasiswa yang tidak dapat dibendung hingga memasuki puncaknya pada 21 mei 1998 yang meminta Presiden Negara Republik Indonesia harus mundur dari jabatanya. Tepat di tanggal tersebut Presiden Soeharto membacakan dan mengumumkan pengunduran dirinya dihadapan MPR RI dan disaksikan oleh segenap rakyat Indonesia. Disaat yang bersamaan, jelas jabatan kepresidenan beserta seluruh tugas, wewenang, hak dan kewajibanya dinyatakan habis atau selesai. Selanjutnya Wakil Presiden dilantik dan ditetapkan sebagai Presiden Indonesia oleh MPR RI sesuai ketentuan UUD 1945.

Sebab itulah, kasus permintaan sendiri untuk mengundurkan diri adalah problem serius, yang tidak dapat disepelehkan oleh eksekutif pada skop kabupaten. Meskipun menyangkut dengan berhentinya Kepala Desa harusnya sudah di atur oleh ketetapan atau keputusan Bupati (Pasal 54 ayat 4, PP No.43 T 20014). Namun, sejauh ini apakah ada keputusan Bupati Kab. Pulau Taliabu menyangkut dengan berhentinya Kepala Desa.

Jika Kepala Desa ‘’dalam situasi tertentu’’ atas permintaan sendiri mengundurkan dirinya dari jabatan sebagai Kepala Desa maka BPD menyampaikan laporan pengunduran diri Kepala Desa dengan memuat alasan-alasan atau materi-materi lainya sesuai situasi yang terjadi pada waktu itu kepada Bupati melalui camat untuk ditindaklanjuti.

Kasus berhentinya Kepala Desa yang pertama yakni meninggal dunia dan kedua permintaan sendiri adalah kasus dengan tidak mempunyai atau tidak memiliki syarat syarat tertentu.

Sementara pada kasus ketiga yakni diberhentikan adalah kasus yang sarat akan syarat-syarat. Sehingga tidak memiliki dasar dan alasan yang kuat untuk tidak menindak lanjuti atau dengan kata lainya kepala desa yang meninggal dunia dan kepala desa yang atas permintaan sendiri dengan secara langsung atau terbuka menyampaikan pengunduran dirinya.

Maka disaat yang sama seluruh tugas dan wewenang, hak dan kewajibanya habis atau selesai dan tidak dapat dipergunakan. Dan menjadi keharusan Bupati mengangkat pegawai negeri sipil untuk menjadikanya sebagai pejabat kepala desa. Karena, ‘’Kepala desa yang masa jabatanya lebih dari 1 tahun karena diberhentikan (meninggal dunia atau permintaan sendiri) maka bupati mengangkat pegawai negeri sipil sebagai pejabat kepala Desa sampai terpilihnya kepala desa yang baru melalui hasil musyawarah desa’’. (Pasal 56 PP No.43 T 2014).

Oleh karena itu, kasus mengundurkan diri Kepala Desa Belo Kec. Taltimsel, Kab. Pulau Taliabu adalah sebuah kasus yang menarik untuk dicerna. Namun, pernyataan pengunduran diri Kepala Desa Belo ditepis bahwa “pengunduran diri itu disampaikan karena tertekan dan ditakutkan jangan sampai terjadi tindakan tindakan anarkis”. Bahkan dibenarkan dengan pernyataan

‘’kalaupun belum ada pergantian maka kades masih melaksankan tugas tugas kades karena secara hukum masih kades, dan belum ada SK pemberhentian atau SK PJS kepala Desa pada Desa setempat dari bupati’’. Adalah keliru dan tidak berdasar karena menyamakan status kepala desa yang berhenti karena meninggal dunia dan mengundurkan diri dengan status kepala desa yang berhenti karena diberhentikan.

Kepala yang dalam status diberhentikan ia harus menunggu empat hal. Pertama, ditetapkan sebagai tersangka. Kedua, dinyatakan sebagai terdakwa, Ketiga, dinyakatan sebagai terpidana (Pasal 41,42,43 UU No. T 2014). Sehingga sebelum mendapatkan status pada ketiga hal tersebut kepala desa berhak mengguanakan seluruh, hak dan kewajiban serta tugas dan wewenangnya.

Dengan kata lainya Bupati dapat memberhentikan kepala desa tetapi sebelum kepala desa dinyakan sebagai tersagka, terdakwa dan terpidana maka seluruh tugas dan wewenang serta hak dan kewajiban kepala desa bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Olehnya itu, kepala desa yang mengundurkan diri disaat yang bersamaan ia telah melepaskan, tugas dan wewenang serta hak dan kewajibanya sebagai kepala desa sehingga yang bersangkutan tidak dapat menggunkanya. ( Muin)

Komentar