Jadi Pelakor Itu Berat

Berita,Sidikkasus.co.id

Sri menatap langit-langit rumah yang ditempatinya di Desa Tiang Sako. Kotor dan mulai berdebu. Sebagian plafon rumah sudah mulai digelayuti oleh sarang laba-laba.

Ia menarik nafas. Sudah berapa lama tidak membersihkan rumah ini? Pikirannya mulai sibuk menghitung. Kalau tidak salah sejak ia mengenal Yantok tiga tahun lalu.

Menjadi perempuan lain dari pria banyak istri sebenarnya membuat hati Sri kian jauh dari kata tenang. Meski sejauh ini semua masih berjalan baik-baik saja dalam artian belum terendus oleh istri-istri Yanto, tapi perasaan rasa salah tetap tidak bisa ia halau pergi.

Ia merasa sudah bertindak bodoh, dan tidak manusiawi. Karena sudah menyakiti hati banyak perempuan.

Selain rasa bersalah yang kian berkepanjangan, hari-harinya juga diliputi oleh rasa was-was. Bagaimana jika hubungan terlarang antara dia dan Yantok suatu hari terbongkar? Apakah ia mampu menghadapinya?

Ketakutan itu akhirnya benar-benar menjadi kenyataan. Suatu sore seorang perempuan bernama Maria yang mengaku sebagai salah satu istri Yantok datang melabraknya, mendampratnya habis-habisan, melemparinya dengan berbagai macam kata-kata kasar.

Menanggapi perempuan yang sedang kalap seperti itu, Sri hanya bisa cuek. Diam seperti patung. Sama sekali tidak ingin melakukan perlawanan. Meski kalau mau, ya, kalau mau ia bisa saja membalas caci maki yang dilontarkan oleh salah satu istri Yantok itu dengan mengatakan, “Suamimu yang memulainya. Ia yang menggodaku lebih dulu. Suamimu yang mengejar-ngejar aku, atau…”

Tapi, ah, sudahlah. Percuma membela diri dengan mengatakan hal-hal semacam itu. Toh tidak akan banyak menolong. Bagaimanapun juga ia tetap dianggap perempuan perusak rumah tangga orang.

Bukankah pihak perempuan dalam kasus perselingkuhan selalu dianggap sebagai pihak yang paling patut untuk dipersalahkan?

Sri bergeming, membiarkan salah satu istri Yantok itu untuk melampiaskan kemarahan hatinya. Meluapkan amunisi kemarahannya. Bahkan ketika perempuan itu menjambak rambut dan menampar pipinya berulang-ulang, ia tetap diam.

Sekali lagi, kalau mau ia bisa saja membalas serangan bertubi-tubi perempuan itu.

Tapi sekali lagi ia tidak berminat melakukannya. Ia sudah memutuskan untuk diam menerima segala macam bentuk perlakuan apa pun sebagai upaya menebus rasa bersalah yang selama ini disimpan dalam-dalam di dalam hatinya.

Untunglah tak lama berselang Yantok muncul. Pria itu bergegas menenangkan salah satu istrinya itu lalu membawanya pergi menjauh dari hadapan Sri.

Sri menatap kepergian suami istri itu dengan pandangan sayu. Setelah menutup pintu depan, ia berjalan lunglai menuju kamar. Sri merasakan tidak saja sekujur tubuhnya yang lelah, tapi juga jiwanya.

Ternyata menjadi pelakor itu berat. Tidak semua orang kuat. Termasuk dirinya. Ia membatin.

Berpikir demikian Sri memutuskan untuk segera mengakhiri semuanya. Ia tahu, dirinyalah yang mesti memulai mengambil langkah. Tidak harus menunggu Yantok. Sebab jika ia menyampaikan niatnya kepada Yantok, pria itu jelas tidak bakal menyetujui.

Sri meraih kopor di bawah kolong tempat tidur. Sebentar kemudian ia sibuk memindahkan beberapa barang dan pakaian ke dalamnya. Setelah kopor penuh ia mengusungnya ke teras depan, mengunci pintu dan memencet angka-angka pada ponsel untuk menghubungi taksi.

Sekitar sepuluh menit taksi datang menjemput. Sopir taksi tampak kebingungan saat Sri mengatakan alamat yang ditujunya. Beberapa kali sopir itu menegaskan, “Anda yakin mau diantar ke alamat tersebut Nyonya?”

Sri mengangguk. Melalui kaca spion sang sopir taksi sempat mencuri pandang ke arah Sri. Tapi kemudian sopir itu memutuskan untuk menghidupkan mesin kendaraannya dan melaju dengan kecepatan tinggi untuk mengantar Sri menuju kesebuah tempat.

Taksi berhenti di tikungan jalan. Sri turun, melangkah tertatih menyeret kopornya. Sopir taksi tak sempat memperhatikannya. Ia buru-buru meninggalkan tempat. Sebab ponselnya ribut berdering. Ada penumpang lain yang sudah menunggunya.

Sri memasuki gang sempit, gelap tanpa penerangan. Ia terus saja berjalan dan baru berhenti ketika kakinya menginjak tanah becek bekas hujan seharian. Tanah itu ditumbuhi oleh rumput liar.

Sri berdiri sejenak di sana. Meletakkan kopornya begitu saja

“Dasar suami tidak tahu diri! Sudah jadi bangkai masih juga berselingkuh!” lambat-lambat telinganya mendengar suara seorang perempuan mengomel. Dari dalam tanah.

Sri tertegun. Dan ia semakin tertegun ketika menatap tiga batu nisan yang berjejer rapi di hadapannya.

Nisan paling kanan tertulis nama Yantok. Nisan yang tengah tertera nama Maria. Dan nisan paling kiri membuat kakinya mundur beberapa langkah.

Sri Marlina :
Wafat 11 Juni 2020.

Tim Kreatif Kantor Berita Sidik Kasus Sumatera Selatan (Sumsel).

Komentar