Gadaikan Tanah Jualkan Ibu

Berita sidikkasus.co.id

HUBUNGAN manusia dan tanah itu ibarat ibu dan anak, tanah adalah sumber nilai Kehidupan dan ibu adalah simbol kehidupan.

Tanah bukanlah komoditi yang bisa dengan mudah untuk diperjualbelikan dengan sewenang-wenang.

Memperlakukan tanah sebagai komoditi berarti memperlakukan ibunya sendiri sebagai seorang pelacur.

Bisa dipahami bahwa tanah dipercayai sebagai sesuatu yang suci. Tanah ibarat ibu menjadi landasan filosofis terbentuknya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Penjelasan undang-undang itu menyebut lahan (Tanah) tidak saja memiliki nilai ekonomis, tetapi juga sosial, bahkan memiliki nilai religius. Lahan pertanian harus dilindungi karena ada gelagat busuk untuk mengalihfungsikannya.

Alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman sejak lama terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan.

UU 41/2009 mengatur secara detail tentang sanksi baik secara perorangan maupun perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap alih fungsi lahan.

Sanksinya berupa pidana 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 5 miliar. Fenomena terkini ialah lahan pertanian diperjualbelikan untuk kepentingan nonpertanian seperti perumahan, pabrik, dan tambang.

Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian, sebanyak 60 ribu hektare lahan pertanian menyusut setiap tahun. Penyusutan lahan sebesar itu setara dengan angka penurunan produksi sebanyak 300 ribu ton setiap tahun.

Jika pencaplokan lahan pertanian tidak segera dikendalikan, bisa jadi, seluruh kebutuhan perut orang Indonesia akan kembali didatangkan dari luar negeri.

Karena itu, akan lebih bermartabat apabila pabrik dan tambang tidak diizinkan untuk beroperasi diatas lahan pertanian produktif.

Apalagi kalau keperluan pabrik dan tambang itu mencaplok lahan sawah, itu bisa memengaruhi produksi padi.

Karena itulah, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan.

Perpres itu dibuat karena faktanya luas alih fungsi lahan pangan, khususnya pertanian menjadi non pertanian, semakin meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun hingga berpotensi dapat mempengaruhi produksi pertanian nasional dan mengancam ketahanan pangan nasional.

Sanggatlah tidak bermartabat apabila ada kepala desa yang bertindak sebagai calo tanah mengalihfungsikan lahan pertanian, untuk pembangunan perumahan atau tambang.

Pemimpin seperti itu, jika masih ada, bisa dikategorikan sebagai pembangkang atas program strategis nasional.

Pembangkangan kepala desa atas program strategis nasional punya konsekuensi serius, yaitu dipecat menurut ketentuan UU. Sanksinya mulai teguran secara tertulis sampai diberhentikan.

Kepala desa mesti menginisiasi perlindungan lahan pertanian melalui perdes atau rencana tata ruang dan wilayah (RTRW).

Sejauh ini, 67 Kabupaten/Kota sudah menerbitkan perda dan 221 Kabupaten/Kota yang menetapkan pertanian pangan berkelanjutan dalam perda RTRW.

Artinya, ada 44% Kabupaten/Kota tidak mau memberikan perlindungan atas lahan. Negara tidak hanya melindungi lahan pertanian, tapi juga petaninya, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Perlindungan petani ialah sebagai upaya untuk membantu petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.

Petani harus dilindungi karena profesi itu tidak lagi menarik minat generasi milenial. Jumlah petani saat ini tinggal 4 juta orang.

Jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia. Padahal, petani telah memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan.

Sebuah pikiran tidak waras bila ada yang mengatakan bahwa untuk menyejahterakan petani, mereka harus berganti profesi dari petani menjadi buruh pabrik atau tambang.

Pikiran seperti itu harus dibuang jauh-jauh. Jangan lupa, setelah investor menguasai lahan, petani tidak akan punya lagi lahan garapan. Uang ganti rugi akan habis sesaat untuk kebutuhan sesat pula, petani di Indonesia bisa melarat sampai tujuh keturunan.

Kewajiban kepala daerah ialah melindungi lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, mencegah alih fungsi lahan, dan paling utama tentu saja berpihak kepada petani.

Meski aturan sudah dibuat, syahwat untuk mengadaikan tanah masih terus menggoda. Jujur dikatakan, ujung tombak penggadaian lahan untuk tambang dan pabrik itu ialah kepala desa dan kepala daerah, bukan petani, karena ujung-ujungnya duit.

Bagi para petani Indonesia, tanah adalah ibu. Menggadaikan tanah berarti menjual ibu.

Sujiono Nurwahyudi

Komentar