Berita sidikkasus.co.id
SUMSEL – KETUA Dewan Pimpinan Pusat Forum Keadilan Rakyat Indonesia, Adenia menilai Indonesia sudah berada dalam posisi kemunduran (Demokrasi) semejak tahun 2016.
Celakanya, kemunduran itu kian terasa pasca Pemilu 2019. “Konsolidasi oligarki, hilangnya oposisi, pelumpuhan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah indikasinya,” ujar Adenia melalui diskusi daring kemarin.
Adenia mengatakan, salah satu indikator penting dari kemunduran demokrasi adalah terkikisnya kebebasan sipil yang tampak jelas dalam proses revisi UU KPK pada September-Oktober 2019.
Dalam proses unjuk rasa itu, diwarnai dengan aksi teror, penyadapan atau peretasan WhatsApp terhadap akademisi yang menolak revisi UU KPK.
Tak hanya akademisi, para mahasiswa yang turun beraksi, mendapat kekerasan secara fisik.
“Berujung sampai penembakan kepada dua mahasiswa, yakni Randi dan Yusuf,” ucap Adenia.
Adenia mengambil contoh insiden terbaru yakni teror pembunuhan kepada panitia dan pembicara diskusi Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM).
“Kemunduran terburuk yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah sejak Indonesia memasuki era reformasi politik pada 1998,” ungkapnya.
Kemunduran demokrasi di Indonesia kian diperkuat dengan data yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit’s (EIU).
Berdasarkan penelitian tahun 2019, Indonesia dicatat sebagai negara dengan demokrasi yang cacat.
“Terlihat dari skor kebebasan sipilnya yang hanya 5.59. Indonesia berada di bawah negara Malaysia dan Filipina,” kata Adenia.
Aktivis muda asal Sumatera Selatan itu mengkhawatirkan berbagai hal yang mempertontonkan kemunduran demokrasi akan terus menerus semakin terjadi ke depan.
“Saya melihat Presiden Joko Widodo sangat terobsesi untuk membangun infrastruktur, tapi tidak terhadap ide kebebasan demokrasi,” kata Adenia.
Tim Kreatif Kantor Berita Sidik Kasus Sumatera Selatan
Komentar