“Apa?! Kamu bilang lupa? Segampang itu kamu bilang lupa?? Memangnya kalau kamu lupa menginjak rem di jalan tol kamu masih bisa bilang lupa?! Dasar lelaki sialan! Mampus saja kamu!!”
Cekrek! Tuut tuut tuuuuuut…
Perempuan itu menutup panggilan telepon dengan kasar lalu membanting handphone ke atas meja di hadapannya. iPhone 5S berwarna putih itu meluncur di antara mangkuk sup kemudian menabrak gelas berisi sisa-sisa lemon tea.
Seorang pelayan restoran yang berdiri dekat meja kasir mengawasi perempuan itu. Wajahnya penuh rasa ingin tahu. Barang kali si pelayan restoran sedang menerka-nerka: lelaki model apa yang tega membuat perempuan cantik itu kesal begitu rupa?
Perempuan itu memang sangat cantik. Sampai-sampai amarah yang menguasai jiwa tidak mampu mengusir raut kecantikan yang terpancar di wajahnya. Beberapa kali mata si perempuan melirik jam tangan di pergelangan tangan kiri, kemudian ia merogoh isi tas untuk mengeluarkan sesuatu.
Dia menarik keluar sebuah kotak berukuran geretan yang dibungkus kertas kado bermotif batik. Bungkusan itu diletakan di sebelah mangkuk sup; kemudian dia melamun sambil terus memandangnya. Perempuan itu tenggelam dalam lamunan cukup lama hingga seorang pelayan membuatnya tersentak.
“Maaf nona, cake pesanan nona sudah selesai kami buat. Apakah sudah bisa dihidangkan? Dengan lilin angka barapa tadi nona, 28?” kata pelayan sambil memeriksa catatanya.
Perempuan itu kelihatan salah tingkah. Dia tidak menjawab pertanyaan tetapi segera menarik dompet dari dalam tasnya: lalu menyerahkan sebuah kartu kredit kepada pelayan restoran.
“Mas boleh bawa cake itu atau menyerahkan ke orang lain. Saya bayar, tetapi saya tidak akan membawanya pulang,” kata si perempuan seraya membereskan tasnya.
Setelah merampungkan pembayaran, perempuan itu keluar restoran. Wajahnya masih menunjukan raut kecewa. Sudah jelas, lelaki yang hendak dijumpai di tempat itu tidak kunjung datang. Barang kali tidak akan pernah datang.
Perempuan itu meminta pelayan memanggil taksi untuk membawanya keluar restoran. Melalui perintah pesawat telepon di meja kasir, sebuah Toyota Vios Limo dengan logo Blue Bird memasuki halaman Restoran Borobudur.
Di belakang kemudi, duduk seorang lelaki paruh baya. Kumisnya tebal dan matanya pucat seperti orang kurang tidur. Dari sebuah kartu identitas yang terpampang di dashboard mobilnya, perempuan itu bisa tahu pengemudi taksi bernama Paimo.
“Mbak Natasja?” tanya Paimo.
Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. Kemudian dia memasang sabuk pengaman di bangku penumpang di sebelah sopir.
“Kemana tujuan kita Mbak Natasja?”
“Eh? Belum tahu Pak. Hmm.. Jalan saja ya,”
Sepanjang perjalanan Natasja hanya membisu. Pandangannya kosong. Tatapannya keluar menembus kaca jendela mobil. Dia melihat trotoar dan tiang listrik hilang-timbul berkelebatan. Dia melihat tukang koran meyodorkan Tabloid Mingguan Sidik Kasus dengan headline yang ditulis besar-kecil.
“Sumatera Selatan Dalam Cengkraman Monopoli Galian C Ilegal”
Natasja melihat pengamen cilik silih berganti dengan penjaja rokok. Kemudian dia melihat tiga orang bocah bermain lompat tali di bawah lampu merah. Semua pemandangan itu sama sekali tidak meninggalkan kesan karena pikirannya membuncah: melayang jauh ke lelaki yang barusan bicara dengannya di ujung telepon.
Lamunan Natasja terputus oleh panggilan masuk di handphonenya. “Incoming Call from Hendra Lajabang” begitu buyi tulisan yang tertera di layar handphone miliknya. Perempuan itu hanya melirik, kemudian pandangannya kembali menembus kaca jendela mobil.
Taksi terus melaju tanpa tujuan. Paimo bahkan sudah membawa mobilnya dua kali berputar di Bundaran Pondok Indah. Pada umumnya, penumpang taksi yang suka melirik argo, tetapi kali ini Paimo sendiri yang memeriksa deretan angka digital tersebut. Hatinya menjadi ciut.
Sudah Rp 350 ribu. Apakah perempuan ini akan membayarnya? Paimo membatin sambil sesekali melirik ke arah Natasja.
“Nona sebetulnya mau kemana sih?”
“Tidak kemana-mana Pak. Sudah tenang saja, saya pasti akan membayar ongkos taksi ini,”
Paimo memilih rute perjalanan yang biasa dia lalui mengais rejeki. Mobilnya lincah, berlari sambil selap-selip mengurai simpul kemacetan di Jakarta. Sampai pada akhirnya mobil Toyota Vios Limo masuk ke kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
“Saya turun di sini saja Pak,”
Pedal rem mendadak diinjak Paimo hingga mobilnya secara tidak sengaja berhenti di depan sebuah bar. Natasja membayar ongkos taksi tersebut lalu menyelipkan dua lembar uang seratus ribu rupiah ke tangan Paimo.
“Yang ini sebagai tanda terimakasih saya karena Pak Paimo sudah bersedia menemani,” kata Natasja sambil keluar mobil.
Paimo mengucapkan banyak terimakasih kemudian memacu taksinya untuk mencari rezeki lewat penumpang lain. Dia masih terheran-heran; selama dua puluh tahun jadi sopir taksi, baru hari ini ada penumpang yang memberi tip sebesar itu.
Di dalam bar, Natasja duduk memesan Martini. Awalnya dia hanya minum beberapa teguk, tidak terasa perempuan itu sudah menghabiskan hampir setengah botol dalam waktu seperempat jam. Seorang barkeeper yang meracik cocktail Natasja memperingatkan agar dia jangan terlalu banyak minum.
Perempuan mungil mengabaikan pesan si barkeeper. Dia kembali memesan minuman. Meneguknya, kemudian meneguknya lagi.
Pembeli adalah raja; sekalipun raja yang tidak bijaksana. Dalam posisi itu barkeeper cuma bisa menuruti permintaan tamunya. Bagi Natasja, setiap tegukan alkohol bisa menerbangkan bayang-bayang si lelaki.
Metode penghapus galau itu bukan tanpa risiko. Wajah Natasja kini semakin merah, kepalanya berat dan matanya sulit terbuka. Pandangan gadis mungil itu kabur.
Gaun merah tak berlengan yang dikenakan Natasja tersingkap tidak keruan; memperlihatkan pundaknya yang mulus. Setelah menghabiskan lebih dari satu botol alkohol sendirian, Natasja tersungkur tak sadarkan diri.
“1808 monitor.. 1808 monitor..” Suara dari radio taksi meraung-raung di tengah kemacetan Tugu Pancoran. Paimo segera menyambar mikrofon.
“1808..” sahut Paimo.
“Posisi dimana?”
“Pancoran.. Pancoran..”
“Lama betul tadi. Seperti apa tamu yang dari restoran?”
“Yang dari Restoran Borobudur?”
“Iya, yang itu,”
“Cantik. Perempuan tercantik yang pernah aku lihat,”
“1808 beruntung kamu,”
Lelaki dari ujung radio taksi tertawa. Paimo ikut tertawa; Dia setengah menurunkan kaca jendela mobilnya, kemudian membakar rokok menggunakan pematik gas.
“Hmm.. Lalu bagaimana?”
“Gereja Katolik St Ignatius Loyola di Menteng, bagaimana?
“Yang di Menteng? Latuharhari?”
“Ya, Latuharhari ”
“Ambil.. Ambil..”
“Pastikan pemesan bernama Sonia,”
“Ambil.. Ambil..”
Paimo memacu taksinya melewati Kawasan Pancoran, membelah Jalan Sahardjo, kemudian menyelinap di antara kemacetan Manggarai. Toyota Vios Limo berbelok ke kiri, lalu menyusuri jalanan di muka kios penjaja kursi roda Pasar Rumput. Lampu sign dipasang sebelum berbelok di pintu perlintasan kereta api Latuharhari.
Dari jarak yang cukup jauh, Paimo bisa melihat dengan jelas seorang wanita berambut pendek duduk menunggu di halte gereja. Wajahnya bening dan matanya yang indah sibuk memperhatikan lalu-lalang kendaraan; dia menanti kedatangan taksi pesanannya.
“Mbak Sonia?” kata Paimo sambil menurunkan kaca jendela mobilnya.
“Iya Pak,” perempuan itu tersenyum kemudian membuka pintu mobil Paimo.
Dia duduk di kursi penumpang depan; memasang sabuk pengaman, kemudian meletakan paper bag berwarna Kuning di kursi penumpang belakang.
“Kemana tujuan kita Mbak Sonia?”
“Ke rumah Nomor 44 di Jalan Sriwijaya Kebayoran Baru ya Pak,”
Sepanjang perjalanan, perempuan itu tidak bicara dan hanya membuang pandang menembus keluar jendela mobil. Berbeda dengan penumpang perempuan sebelumnya, Paimo memperhatikan wanita bernama Sonia ini melamun tetapi tidak dengan raut wajah sedih.
Sonia tersenyum saat melihat trotoar berkelebatan di sampingnya. Dia menikmati suara pengamen di lampu merah yang menyanyikan lagu Billy Joel, kemudian matanya memperhatikan dengan seksama bagaimana penjaja koran menyodorkan Tabloid Mingguan Sidik Kasus ke arah mobil yang terjebak macet.
Meski lalu lintas tersendat, dia menikmati perjalanan itu sehingga Paimo memberanikan diri membuka obrolan. Sopir taksi memang selalu mengajak penumpangnya ngobrol untuk menghindari kantuk. Kadang-kadang untuk menambah kenalan.
“Pulang ibadah Mbak?” kata Paimo memecah kebisuan.
“Oh tidak Pak. Saya kebetulan tinggal di belakang gereja. Sekarang saya mau main ke rumah pacar,” kata Sonia.
Wajar saja senyum-senyum sendiri. Orang mau ngapel pacar kok, batin Paimo sambil kepalanya manggut-manggut. Keduanya larut dalam obrolan. Semua hal jadi topik pembicaraan; dari jenis-jenis kebaya kutu baru, sampai rencana pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan.
Ditemani serangkaian obrolan yang ngalor-ngidul, tak terasa taksi tiba di tujuan. Taksi Paimo berhenti persis di depan rumah mewah yang terlindung di balik pagar kokoh. Begitu tingginya pagar tersebut sehingga dari jarak dekat Paimo tak mampu melihat ujungnya.
“Terimakasih Pak, hati-hati di jalan,” kata Sonia sambil membayar ongkos taksi.
Sonia disambut seorang pria bercelana pendek yang usianya mungkin belum 40 tahun. Keduanya berpelukan. Sebelum pintu taksi ditutup, Paimo masih sempat mendengar kata-kata Sonia kepada pacaranya yang berdiri di depan pagar rumah.
“Selamat ulang tahun sayang. Kita jadi makan di luar kan?”
Pintu taksi ditutup. Suara-suara menghilang. Paimo melesat ke arah Kementerian Pekerjaan Umum di Jalan Pattimura yang jaraknya sekiar 15 menit dari tujuan penumpang terakhirnya. Paimo kemudian memarkir mobil untuk beristirahat di sebuah warung di belakang kantor kementerian tersebut.
Setelah memesan kopi, sopir taksi itu kembali ke mobilnya; mengunci rem tangan, membakar rokok dengan pematik gas, dan merebahkan jok di belakang kemudi.
Sambil menikmati kopi hitam, Paimo mencari siaran radio yang pas. Jarinya berhenti menekan tombol radio begitu suara Billy Joel terdengar.
I wouldn’t leave you in times of trouble
We never could have come this far
I took the good times; I’ll take the bad times
I’ll take you just the way you are
Di tengah kenikmatan itu, suara Billy Joel mendadak berubah serak. Kresek-kresek.. Radio taksi otomatis berubah setiap ada panggilan dari kantor pusat.
“1808 monitor.. 1808 monitor..”
“1808..” sahut Paimo.
“Posisi dimana?”
“Masih Kebayoran Baru”
“Status sandi lima. Ada barang tertinggal di mobil kata penumpang terakhir,”
Paimo buru-buru menoleh ke kursi penumpang di belakang. Dia melihat paper bag Kuning berisi kotak yang dikemas menggunakan kertas kado. Sopir taksi itu mengeluarkan kotak tersebut kemudian memeriksa setiap sisinya. Terdapat sebuah tulisan pada kartu ucapan yang terselip di salah satu sisi kotak.
“Untuk Hendra Lajabang. Dari Kekasihmu: Sonia Indira Kirana”
Sejurus kemudian Paimo tancap gas menuju rumah mewah Nomor 44 di Jalan Sriwijaya. Tetapi di tengah perjalanan, ia tiba-tiba teringat penumpang pertamanya hari itu; penumpang wanita bergaun merah yang dia jemput di Restoran Borobudur.
***
Di sebuah bar di kawasan Kemang, perempuan bernama Natasja meracau karena pengaruh alkohol. Dalam kondisi setengah sadar, perempuan mungil nan cantik jelita itu memanggil-manggil nama kekasihnya.
“Hendra Lajabang.. Hendra Lajabang..”
Tim Kreatif Kantor Berita Sidik Kasus Sumatera Selatan (Sumsel).
Komentar