Berita Sidikkasus.co.id
Jakarta – Definisi korupsi di Indonesia diakui masih terkungkung dalam definisi yang terbatas. Kadang korupsi hanya dipahami sebagai bentuk tindak pidana yang berhubungan dengan keuangan negara di sektor publik yang hanya melibatkan pejabat publik.
Pada kenyataannya, korupsi bisa ditemukan dalam sektor apapun, baik sektor publik maupun swasta dan pelaku korupsi juga bisa dari kalangan mana saja mulai dari staf, administrasi, direksi atau pimpinan bahkan pemilik korporasi.
Dalam sebuah diskusi mengenai Pencegahan Korupsi di Sektor Swasta (8/5), Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono menjelaskan kembali bagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 mengatur tentang hal ini.
Berdasarkan pasal 4 ayat (2) poin c, dikatakan bahwa salah satu bentuk kesalahan korporasi yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana adalah jika korporasi tidak melakukan upaya pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar, dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku untuk akhirnya menjauhi terjadinya tindak pidana korupsi.
“Menjalankan bisnis pada area dimana korupsi bersifat sistemik, menjadi suatu tantangan untuk mengimplementasikan upaya pencegahan korupsi pada korporasi,” katanya.
Menurut dia, sektor swasta harus membuat terobosan melakukan pencegahan korupsi dalam menjalankan bisnisnya. Banyak korporasi mengakui bisnis yang berintegritas tanpa suap adalah bisnis yang baik dan dapat memberikan insentif bagi korporasi.
Namun, lanjut Giri, masih ada kekhawatiran korporasi kehilangan peluang bisnis apabila tidak membayar suap pada proses pemenangan tender atau pemberian izin usaha. “Ini membuat persaingan usaha tidak kompetitif masih kerap muncul.”
Giri menjelaskan, perusahaan atau korporasi tentu harus mematuhi hal tersebut, tak hanya PerMA bahkan sejumlah aturan menjadi garda terdepan untuk mewujudkan integritas dan permainan bisnis yang sehat dalam dunia usaha. United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) adalah salah satunya, perjanjian ini pun telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006, kemudian ada pula UU KPK No. 19/2019 pada pasal 7 huruf c, d, e; tentang Pendidikan, Kampanye, dan Sosialisasi.
Dari data KPK, sejak 2004-2019 tercatat tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan terdapat 297 pelaku korupsi berasal dari sektor swasta.
“Ini merupakan peringkat tertinggi dalam kurun waktu tersebut, dan itu artinya pencegahan korupsi dalam korporasi harus betul-betul dilakukan dan dimulai dengan adanya suatu komitmen atas nilai antikorupsi,” tegasnya.
Nilai ini wajib diwujudkan ke dalam suatu komitmen tertulis yang diprakarsai oleh jajaran atas atau manajemen puncak korporasi seperti pemilik, direksi, dan komisaris.
Selain komitmen manajemen puncak, korporasi harus mewajibkan seluruh pegawai membuat dan/atau menandatangani surat pernyataan tidak melakukan aktivitas terkait kecurangan, korupsi, dan pencucian uang. Asosiasi usaha juga harus mendorong komitmen dan kebijakan antikorupsi agar diterapkan di korporasi-korporasi yang dinaunginya.(*)
Komentar