Melihat Daya Saing Siswa

Oleh : Adeni Andriadi

Berita sidikkasus.co.id

Beberapa hari lalu kita merayakan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, dan tidak lama lagi akan merayakan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei.

Makna dari kedua peringatan tersebut sangat dalam bagi kita semua karena akan menentukan bagaimana wujud bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Merupakan suatu kebanggaan bagi kita semua bahwa berbagai prestasi dunia telah dicapai oleh beberapa siswa Indonesia di kancah internasional, seperti dalam berbagai Olimpiade, baik matematika, fisika, maupun biologi, dan lomba-lomba lainnya.

Namun, kita perlu melihat lebih jauh apakah kemampuan dan prestasi tersebut sudah menggambarkan kondisi yang sebenarnya dari baik seluruh pelajar maupun sistem pendidikan di Indonesia.

Selama bersekolah salah satu indikator pendidikan yang perlu kita lihat ialah seberapa jauh rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktunya untuk bersekolah. Disebutkan oleh UNESCO dengan istilah mean years of schooling (MYS). Formula MYS ini menggunakan data pendidikan orang-orang yang telah berusia 25 tahun ke atas.

Menurut BPS (2019), Indonesia memiliki MYS dengan skor 8,34 tahun yang berarti pelajar di Indonesia rata-rata hanya selesai sekolah sampai dengan kelas 8 di tingkat SMP.

Di lain sisi, MYS Malaysia 10,2 tahun atau kira-kira sampai kelas 10 SMA dan Singapura 11,1 tahun atau setara kelas 11 SMA.

Jepang sebagai negara maju mempunyai MYS 12,8 tahun yang berarti rata-rata siswa di sana mampu lulus SMA atau mendapatkan diploma.

Dengan rata-rata pendidikan sampai tingkat SMP tersebut, dampaknya ialah sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena rendahnya tingkat keterampilan dan keahlian yang dimiliki.

Tes PISAOECD telah memperkenalkan suatu program uji kemampuan yang disebut dengan PISA (Programme for International Student Assessment) untuk siswa sekolah usia 15 tahun atau sekitar kelas 8-9 SMP.

Tes PISA ini melihat kemampuan dan kompetensi siswa di bidang membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan.

Hasil tes terakhir 2018 yang diikuti 78 negara menunjukkan nilai PISA membaca siswa Indonesia 371, masih kalah jika dibandingkan dengan siswa Thailand (393), Malaysia (415), dan Singapura (549).

Untuk kemampauan matematika, nilai siswa Indonesia 379, masih rendah jika dibandingkan dengan Thailand (419), Malaysia (440), dan Singapura (569).

Terakhir untuk kemampuan di bidang ilmu pengetahuan, skor PISA siswa Indonesia 396, Thailand 426, Malaysia 438, dan Singapura 551.

Hasil PISA siswa Indonesia 2018 tersebut ternyata juga lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil ujian pada tahun 2015.

Kondisi ini menegaskan kembali bahwa daya saing siswa Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan dengan siswa-siswa dari beberapa negara ASEAN lainnya sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai level of playing field yang sama dengan mereka.

Pergantian kurikulum Sejak Indonesia merdeka dari 1945 sampai dengan 2020 ini, kurikulum pendidikan nasional kita telah berubah sebanyak 11 kali.

Jadi, rata-rata hampir setiap enam tahun sekali kurikulum pendidikan nasional kita berubah.

Seringnya kurikulum berganti juga menyebabkan berubahnya infrastruktur yang diperlukan seperti pengadaan buku sekolah, metode belajar, dan kemampuan mengajar para guru itu sendiri.

Pergantian kurikulum yang sering tersebut juga sering membuat bingung baik para siswa maupun orangtua.

Tentu saja hal ini menjadi persoalan yang serius mengingat konsistensi sistem pendidikan menjadi tidak jelas, proses belajar terganggu, dan kualitas siswa yang dihasilkan juga belum optimal.

Global Competitiveness Index Rendahnya rata-rata tingkat pendidikan siswa di Indonesia juga memberikan pengaruh yang besar terhadap daya saing bangsa Indonesia di kancah internasional.

Global Competitiveness Index (GCI) atau Indeks Daya Saing Global yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) merupakan suatu alat ukur yang memperlihatkan bagaimana suatu negara memberikan kemakmuran yang sebesar besarnya kepada warga negaranya.

Hasil GCI terakhir pada 2019 menunjukkan posisi Indonesia di urutan ke-50 dari 141 negara. Posisi itu masih di bawah Thailand (40), Malaysia (27), dan Singapura (1).

Salah satu penyebab rangking Indonesia kalah dari negara-negara tersebut ialah masih rendahnya kemampuan berinovasi. Faktor ini sangat berkaitan erat dengan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia.

Anggaran Pendidikan

Anggaran pendidikan yang memadai merupakan salah satu sumber daya utama guna meningkatkan kualitas pendidikan.

Kita beruntung setelah reformasi berakhir anggaran pendidikan telah diperjuangkan untuk dinaikkan porsinya menjadi lebih besar.

Sesuai dengan Amendemen UUD 1945 Pasal 31 ayat 4, pemerintah wajib menyediakan anggaran pendidikan minimal 20% dari seluruh APBN dan APBD.

Jumlah anggaran pendidikan kita pada 2019 mencapai Rp 492,5 triliun atau rata-rata sekitar Rp1,8 juta untuk setiap penduduk Indonesia.

Jumlah itu relatif masih kurang bila kita bandingkan dengan Malaysia yang sekitar Rp 7 juta dan Singapura sebesar Rp 22 juta per orang.

Fakta tersebut menunjukkan kepada kita bahwa meskipun anggaran pendidikan sudah mengambil porsi 20% dari APBN dan APBD, dirasakan masih belum cukup bila jika dibandingkan dengan negara lain.

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis mengenai masalah pendidikan di Indonesia.

Sehari-hari penulis bekerja sebagai wartawan yang bertugas di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).

Komentar