Berita,Sidikkasus.co.id
Palembang adalah Kota besar demi kawasan lowland atau dataran rendah dan dipenuhi oleh sungai, rawa gambut, dan dipahami masyarakat lokal sebagai rawang.
Kota dengan luas 36.920 hektar, dan jika tidak ditata mulai sekarang, kemungkinan besar akan “tenggelam”.
Apa yang seharusnya dilakukan?
Saat ini, setiap musim hujan, sebagian besar wilayah Kota Palembang digenangi oleh air (Banjir). Berbagai upaya dilakukan seperti menata saluran air, membersihkan sampah, dan lainnya. Namun banjir tetap terjadi.
Upaya Pemerintah Kota Palembang untuk melancarkan saluran air, terlihat bertepuk sebelah tangan. Berdasarkan Pantauan Sidikkasus.co.id, perilaku penimbunan rawa, anak sungai, atau menyempitkan anak sungai atau parit terus terjadi dikawasan Jakabaring Palembang.
Kemungkinan Palembang di masa mendatang akan tenggelam, didorong oleh beberapa faktor.
Pertama, banyak rawa dan anak sungai di Palembang hilang atau mengalami kerusakan karena menyempit dan mendangkal, akibat sampah atau sengaja ditimbun untuk mendapatkan daratan. Ini menyebabkan hilangnya daerah resapan air atau air sulit mengalir, gampang tergenang.
Belum seratus tahun, Palembang tercatat memiliki 316 anak Sungai Musi pada tahun 1930, kini kehilangan 221 anak Sungai Musi.
Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jalur Palembang Ilir dan Palembang Ulu.
Kedua, kawasan lowland yang ada di sekitar Palembang, seperti di Kabupaten Muaraenim, Ogan Ilir, Banyuasin, Ogan Komering Ilir (OKI), saat ini mengalami kerusakan atau berubah fungsi. Ini dikarenakan alih fungsi lahan menjadi perkebunan, pertanian, dan lokasi infrastruktur.
Akibatnya, fungsinya sebagai kawasan resapan air hilang. Bahkan setiap musim kemarau, sebagian wilayah terbakar, dan asapnya menyerang warga Palembang.
Hilangnya fungsi dataran rendah di sekitar Kota Palembang menyebabkan air dari Kota Palembang tidak mengalir dengan baik, menuju wilayah pesisir timur Sumatera. Air pun mengalir hanya mengandalkan Sungai Musi.
Ketiga, akibat perubahan iklim yang sedang berjalan tahun ini, permukaan air laut terus mengalami kenaikkan. Naiknya permukaan air laut ini berdampak terhadap tertahannya aliran air dari Sungai Musi.
Keempat, kerusakan hutan di wilayah hulu Sungai Musi atau DAS (Daerah Aliran Sungai) Musi, sebagai akibat perkebunan, pertanian, dan penambangan, menyebabkan air tidak lagi tertampung di hutan. Air pun langsung mengalir ke Sungai Musi.
“Bayangkan di masa depan, ketika hujan turun berhari-hari, maka Kota Palembang dan sekitarnya yang sudah kehilangan kawasan resapan air, dapat menjadi sebuah danau. Air tidak pergi ke mana-mana, termasuk ke laut karena permukaan air laut naik.
Kecemasan Kota Palembang dan beberapa kota lain di Sumatera Selatan bisa “tenggelam” sebagai dampak perubahan bentang alam, juga dikatakan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Forum Keadilan Rakyat Indonesia, Adenia.
Kata dia, berdasarkan data, sekitar 35 persen dari 8,7 juta hektar luas wilayah Sumatera Selatan merupakan kawasan lowland.
“Jadi, memahami lowland, kita harus sadar bahwa daerah rawa, pasang surut, merupakan kondisi normal yang ada di Sumatera Selatan,” terangnya, Jumat, (8/5/20).
Ketika kawasan lowland, yang bergambut, berair, kemudian diubah fungsinya menjadi perkebunan, maka wilayah yang seharusnya tidak terbakar, justru sekarang sering terbakar. Jadi ada perubahan ekosistem yang diakibatkan oleh pembangunan.
“Menjadi ironis, lowland yang seharusnya basah, kemudahan bisa menjadi terbakar terus-menerus.”
Selain kebakaran, perubahan bentang alam berdampak pada banjir di masa mendatang, di Sumatera Selatan. “Risiko banjir akan meningkat di masa mendatang.
Sehingga tata kelola air menjadi sangat penting dalam memahami lanskap untuk Sumatera Selatan,” kata Adenia.
Tanda-tanda Kota Palembang maupun kawasan lain di wilayah lowland akan tenggelam, sudah terbaca. Ada dua pulau kecil yakni Pulau Betet dan Pulau Gundul yang berada di Kabupaten Banyuasin, dan sebagian wilayahnya tenggelam, yang diperkirakan karena naiknya permukaan air laut.
Elevasi atau ketinggian Pulau Betet turun sekitar satu meter dari permukaan air laut, dan Pulau Gundul mengalami penurunan mencapai tiga meter.
Pada tahun 2020 ini, kami memperkirakan ada empat pulau lain yang terancam tenggelam. Pulau Burung, Pulau Salahnamo, Pulau Kalong, dan Pulau Keramat.
Masyarakat Sumatera Selatan, termasuk Palembang, adalah masyarakat melayu yang tumbuh sebagai bangsa bahari. Mereka memandang bentang alam sebagai “lautan” bukan sebagai daratan.
“Sebagai orang bahari, mereka sangat menghargai air. Baik yang berada di lautan, sungai, danau, hingga rawa. Selama ratusan tahun, air sangat mereka hormati.
Mereka tidak pernah merusak atau mengubah bentang alam yang terkait keberadaan air. Mereka justru beradaptasi dengan bentang alam. Mereka membangun rumah rakit, rumah panggung, membuat perahu, dan sebagainya, sehingga mereka bebas dari berbagai bencana,” urainya.
Bahkan, beragam tradisi dilakukan masyarakat melayu terhadap air, “Misalnya melakukan sedekah laut, sedekah sungai, danau, dan lainnya. Ini sebagai rasa syukur dan juga sebagai pengingat bahwa begitu pentingnya keberadaan air, agar menjadi kawan bukan lawan atau musuh. Mereka tidak melawan alam, mereka membangun hubungan harmonis dengan alam,” ujar Adenia.
Persoalannya, kata Adenia, gelombang terakhir bangsa yang datang ke Nusantara, yakni bangsa Eropa, India, dan Timur Tengah, mengubah budaya masyarakat bahari atau melayu ini, menjadi kebudayaan kontinental atau daratan.
“Perubahan ini mulai dari pembuatan jalan darat, pertanian, perkebunan, hingga bangunan. Faktanya, hari ini kesadaran sebagian besar orang melayu sudah seperti orang kontinental,” ujarnya.
Adenia menuturkan, jika Sumatera Selatan ingin bebas dari kekeringan dan banjir, sangat dibutuhkan upaya serius dan berkelanjutan terkait tata kelola air. Khususnya, di lowland seperti gambut dan rawa.
“Kalau tata kelola air tidak dijalankan dengan baik, kemudian pengelolaan gambut tidak dijalankan dengan rapi, bencana itu ke depan akan terjadi. Situasi ini harus disikapi dengan sangat hati-hati.”
Pernyataan yang sama disampaikan Ansori AK. “Harusnya, pemerintah fokus pada tata kelola air. Persoalan kebakaran di rawa gambut, sebetulnya tidak akan terjadi jika tata kelola airnya baik. Artinya, kita bukan berpikir bagaimana mengatasi kebakaran, tapi bagaimana menjaga air tetap ada di rawa gambut.
Rawa gambut tetap berair, maka kebakaran tidak akan terjadi atau gampang diatasi,” ujarnya.
Guna melahirkan kesadaran tata kelola air, tentunya tidak mudah. “Selain membangun kesadaran di masyarakat, para pemimpin atau penyelenggara negara juga harus memiliki kesadaran yang sama,” kata Adenia.
Pemimpin yang memiliki kesadaran tersebut, tentunya pemimpin yang memiliki “batin melayu” atau memahami kebudayaan melayu. “Sebelum memiliki batin melayu, dia harus paham apa itu kebudayaan melayu. Dia harus mampu mengharmoniskan kepentingan dunia dan akhirat dalam batinnya.
Keharmonisan inilah yang menjadi dasar seseorang untuk bersikap arif terhadap lingkungan, khususnya mampu berpihak dan bekerja untuk menata lingkungan, terutama tata kelola air.”
“Pemimpin yang memiliki batin melayu tentu saja tidak ingin Kota Palembang atau berbagai wilayah lain di Sumatera Selatan tenggelam akibat banjir atau kekeringan.
Dia tidak tergoda dengan berbagai investasi yang dapat merusak lingkungan. Sebab, dia ingin masyarakatnya selamat di dunia dan akhirat,” tegas Ansori AK.
Laporan : Adeni Andriadi
Komentar