Pantang Lancungi Bantuan Korona

KORUPSI di negeri ini adalah sebagai kejahatan luar biasa, sama dengan terorisme dan narkotika. Lebih hebat lagi bila korupsi dana dana bencana, semua pelaku bisa diganjar dengan vonis mati.

Ancaman hukuman mati perlu diberikan karena korupsi dana bencana merupakan bentuk moral yang sangat buruk karena mengambil keuntungan pribadi di saat rakyat tengah menderita. Selain itu, korupsi akan menghambat penanganan bencana. Artinya, kesengsaraan rakyat akan semakin panjang.

Dalam hal penanganan pandemi virus korona jenis baru dari Wuhan (covid-19), beleid tersebut jelas juga berlaku. Pemerintah telah menetapkan pandemi covid-19 sebagai bencana nasional, yang artinya semua penanganannya harus sesuai dengan protap penanggulangan bencana.

Pemerintah menganggarkan dana hingga Rp 405,1 triliun untuk penanganan covid-19. Mekanisme perencanaan dan penggunaannya pun diberikan kelonggaran agar pejabat bisa lebih dinamis dalam merespons kondisi bencana. Dari sisi pertanggungjawaban juga berbeda dari situasi normal.

Tak jarang kelonggaran sistem itu menjadi celah bagi para predator uang rakyat untuk meraup keuntungan demi tujuan pribadi. Di sinilah peran penegak hukum dan lembaga pengawas lebih dibutuhkan jika dibandingkan dengan saat kondisi normal.

Ada lembaga pengawasan intern pemerintah, ada pula pengawasan eksternal. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pihak eksternal dapat mendampingi untuk mencegah terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan. Di samping itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau aparat penegak hukum lainnya juga perlu mengawasi secara ketat penggunaan dan alokasi dana bantuan.

KPK telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 Terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. KPK juga membentuk tim khusus untuk mengawal dan bekerja bersama dengan satuan tugas di tingkat pusat dan daerah.

Dalam situasi tanggap darurat bencana sangat dibutuhkan pengadaan barang dan jasa secara cepat dan tepat. Namun, terbuka pula modus pencurian dengan melakukan suap kepada penyelenggara negara oleh penyedia barang dan jasa saat pengadaan barang.

Selanjutnya, para penyedia barang dan jasa akan menaikkan harga sehingga terjadi penggelembungan harga. Selain itu, ada pemotongan dana bantuan, khususnya di bidang sosial. Dalam situasi kalut, potensi untuk melakukan hal tersebut sangat terbuka dan mungkin terjadi.

Kewaspadaan aparat mestinya maksimal karena berdasarkan pengalaman, masih rawan terjadi tindak pidana korupsi dalam penggunaan dana bencana. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, selama 10 tahun terakhir terdapat sedikitnya 87 kasus korupsi dana bencana yang telah ditangani kepolisian, kejaksaan, ataupun KPK.

Untuk mencegah terjadinya korupsi itu, sejak awal harus ada peringatan keras dari pemerintah terhadap seluruh pejabat serta penyedia barang dan jasa agar tidak bermain-main dengan dana bencana.

Aparat hukum perlu didorong untuk menindak tegas siapa pun yang berupaya melakukan praktik lancung di tengah usaha keras kita bersama menyelamatkan bangsa ini dari ancaman virus korona. Tidak ada tempat bagi pencoleng bantuan bencana.

Oleh : Adeni Andriadi

Komentar