Menolong Warga Miskin

 

DALAM setiap krisis yang berdampak pada perekonomian, masyarakat berpendapatan rendah selalu menjadi korban pertama jatuh. Bantuan sosial dari pemerintah pun otomatis diarahkan kepada mereka. Demikian pula yang terjadi pada krisis akibat wabah covid-19 saat ini.

Bagi kelompok miskin, penyaluran bantuan pemerintah relatif mudah karena mereka sudah terdata sebagai penerima bantuan reguler. Korban selanjutnya ialah kelompok masyarakat rentan miskin.

Berdasarkan riset yang dipublikasikan akhir Januari lalu, Bank Dunia mencatat jumlah masyarakat rentan miskin di indonesia mencapai 115 juta orang. Warga yang tergolong kelompok rentan miskin menghabiskan Rp 532.000-Rp 1,2 juta per orang per bulan.

Dengan demikian, untuk keluarga dengan dua anak, pengeluaran keluarga rentan miskin sekitar Rp 2,1 juta-Rp 4,8 juta setiap bulan.

Mereka berada pada posisi yang justru bisa lebih mengenaskan ketimbang kelompok miskin. Pasalnya, mereka tidak terdata sebagai sasaran bantuan sosial pemerintah.

Ketika gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK melanda, banyak di antara mereka yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja kesulitan.

Di sini kesigapan pemerintah daerah diperlukan. Kementerian Sosial telah memberikan lampu hijau untuk usulan calon pemerima bansos dari daerah. Pemda diharapkan bekerja cepat untuk mendata warga yang jatuh miskin sembari memperbaiki data penerima agar tidak salah sasaran.

Dalam situasi darurat saat ini, masukan masyarakat menjadi semakin krusial untuk meluruskan data penerima bansos. Warga sekaligus bisa menjadi pengawas penyaluran bantuan dari pemerintah. Tugas pemda memverifikasi dan memvalidasi masukan-masukan warga.

Jaring pengaman sosial yang lebih lebar masih bisa dibentangkan untuk kelompok masyarakat dengan pendapatan yang rapuh akibat wabah covid-19. Kali ini tidak hanya bergantung pada bantuan pemerintah, tetapi ikut melibatkan kebijakan industri finansial.

Kita tahu betul, tahun lalu saat perekonomian masih normal, bank-bank besar mereguk laba puluhan triliun. Itu semua berkat simpanan, konsumsi, hingga aktivitas peniagaan masyarakat. Kini sebagian ‘kontributor’ laba yang fantastis itu tengah kesulitan membayar cicilan pinjaman. Alangkah baiknya bila perbankan ikut membantu.

Ketimbang mengirimkan pesan bahwa cicilan pinjaman sudah mendekati jatuh tempo atau peringatan tunggakan, mengapa tidak mengirimkan surat cinta? Isinya memberitahukan debitur opsi-opsi keringanan pembayaran cicilan.

Contohnya, bank memberi penangguhan pembayaran cicilan berupa bunga dan pokok selama periode tertentu. Pun debitur bisa membayar cicilan berupa bunga saja selama 2-3 bulan, kemudian bulan berikutnya baru membayar penuh.

Tentu saja, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi debitur yang membuktikan dirinya kesulitan membayar cicilan pinjaman. Agar tidak menjadi sekadar kesadaran, sebaiknya regulator menetapkan kebijakan keringanan pembayaran pinjaman.

Pandemi covid-19 merupakan bencana nasional, maka seyogianya semua elemen bangsa ikut bergotong royong menanggulangi dampaknya. Hal itu mengingat terbatasnya kemampuan anggaran pemerintah.

Di tingkat warga, muncul pahlawan-pahlawan sosial yang mengulurkan tangan untuk kerabat, tetangga, hingga warga sekitarnya yang kesulitan ekonomi akibat wabah. Perbankan pun bisa turut menjadi pahlawan dengan meringankan beban debitur.

Oleh : Adeni Andriadi

Komentar